JAKARTA – Pemerintah diminta mampu menjamin perubahan skema pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas dari kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) cost recovery menjadi gross split tidak pengaruhi nilai keekonomian suatu lapangan. Untuk itu pemerintah harus mempunyai rencana lanjutan sebagai penunjang pelaksanaan skema yang baru pertama kali diterapkan di Indonesia tersebut.

“Kami dukung adanya usaha efisiensi di industri migas, dalam hal ini konsep gross split. Tapi kami ingin pastikan keekonomian tidak turun dari yang sudah ada, karena sekarang pun attractiveness untuk orang investasi kurang dibanding negara-negara di wilayah region kita,” kata Marjolijn Majong, Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (20/1).

Dia meminta pemerintah tidak berhenti untuk terus berinovasi sebagai improvement fasilitas, terutama dari sisi eksplorasi. Apalagi ke depan para pelaku usaha dipastikan harus bergeser ke wilayah perairan dalam dan frontier yang dipastikan membutuhkan usaha ekstra, baik dari sisi biaya maupun teknologi.

“Mohon ada kajian untuk pengembamgan laut dalam frontier dan EOR, jadi eksplorasi lebih bagus karena kita ke depan mau kesana. Kita minta kajian lebih baik, kita mau unconventional arahnya,” ungkap Majong.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, menyatakan pemerintah tetap membuka diri untuk menerima masukan dari semua pihak, terutama dalam mengevaluasi skema gross split. Namun untuk saat ini para pelaku usaha dan pemangku kepentingan diminta bisa menerima keputusan pemerintah dan coba menerapkan skema yang dirancang untuk bisa menguntungkan pemerintah dan kontraktor.
“Waktu nanti menjawab apakah skema ini bisa ciptakan lingkungan investasi baik, apakah menggiatkan eksplorasi dan terakhir apakah bisa tingkatkan produksi,” kata dia.
Penerapan skema gross split diharapkan bisa merangsang untuk bisa mempercepat rentan waktu atau jarak antara mulainya produksi dan penemuan cadangan migas baru.

Data Kementerian ESDM mengungkapkan era 1970-an rentan waktu produksi dan penemuan cadangan baru hanya berjarak sekitar limat tahun, kemudian 1990-an bertambah menjadi 10 tahun, dan pada dekade 2000-an diperkirakan kecenderungan kembali bertambah menjadi sekitar 16 tahun. “Harapan kita bisa hemat waktu kira-kira 2 sampai 3 tahun, kita berusaha mengarah kesana,” kata Arcandra. (RI)