JAKARTA – Pemerintah akhirnya menerbitkan regulasi baru berupa Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha HuIu Minyak dan Gas Bumi. Pelaku usaha mengapresiasi langkah pemerintah tersebut, namun juga mengingatkan perlu ada konsistensi, terutama dalam mengimplementasi regulasi tersebut.

Marjolijn Wajong, Presiden Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA), menyatakan konsistensi pemerintah bisa ditunjukkan dengan tidak mempersulit kontraktor yang menghendaki evaluasi kontrak untuk bisa melakukan penyesuaian terhadap kontrak yang telah ditandatamgani sebelum beleid tersebut terbit.

“Mungkin permintaan saya ke government, untuk yang blok eksploitasi dipermudah. Jadi penilaian bahwa itu bisa tidaknya dilakulan penyesuaian perhitungan cost recovery dan pajak sesuai regulasi baru dikasih itu, jangan terlalu sulit,” kata Marjolijn di Jakarta, Selasa (4/7).

Regulasi baru menyebutkan kontrak yang ditandatangani sebelum UU Migas No 22 Tahun 2001, sebelum diberlakukan PP No 79 Tahun 2010 dan setelahnya bisa mengajukan penyesuaian kontrak namun tetap dilakukan evaluasi terlebih dulu oleh pemerintah.

Menurut Marjolijn, kehadiran regulasi baru membuka peluang menggeliatnya investasi terlebih untuk blok eksplorasi semakin besar.
“Mudah-mudahan untuk eksplorasi kontraktor melihat ini adalah kesempatan yang baik. Kalau kontrak di tandatangani 2010 kan kontraknya sampai 2030-2040,” ungkap dia.

Pemerintah dalam PP 27/2017 menegaskan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko dalam rangka pelaksanaan operasi perminyakan berdasarkan kontrak kerja sama pada suatu wilayah kerja.

Selain itu, seluruh barang dan peralatan yang dibeli kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan pemerintah dan dikelola Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).

Untuk meningkatkan produksi, mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjamin adanya penerimaan negara, menurut PP tersebut, menteri menetapkan besaran dan pembagian first tranche petroleum (FTP). Sedangkan untuk mendorong pengembangan wilayah kerja, menteri dapat menetapkan bentuk dan besaran insentif kegiatan usaha hulu.

“Terhadap insenti kegiatan usaha hulu berupa imbalan DMO holiday, menteri dapat menetapkan insentif tersebut setelah mendapat persetujuan dari menteri keuangan,” bunyi Pasal 10 ayat (3) PP 27/2017.

Pada ayat berikutnya disebutkan, dalam rangka membantu keekonomian kegiatan usaha hulu, menteri keuangan memberikan insentif perpajakan dan insentif penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, PP ini juga menegaskan, bahwa menteri dapat menetapkan besaran bagi hasil yang dinamis (sliding scale split) pada kontrak kerja sama.

Marjolijn menegaskan dalam implementasi bagi hasil yang dinamis tetap harus berdasarkan kesepakatan kedua pihak antara pemerintah dan kontraktor agar tidak melanggar kontrak.

“Selama dua-duanya mau, tidak ada masalah. Iya dong, kalau kita ada kontrak berdua, harus kedua pihak mau. Tapi jangan satu pihak. Sanctity of contract itu bukan berarti tidak boleh berubah, boleh tapi harus persetujuan keduanya,” kata dia.(RI)