JAKARTA – Pemerintah diminta terus mengejar pertanggungjawaban PTT Exploration and Production Public Company Limited (PTT EP), perusahaan migas asal Thailand terkait tumpahan minyak di perairan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur yang disebabkan meledaknya sumur minyak Montara pada 2009.

Endre Saifoel, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Nasdem, mengatakan kasus tumpahan minyak di Laut Timor harus segera dibawa ke ranah hukum lantaran belum adanya itikad baik dari PTT EP. Bahkan jika diperlukan pemerintah bisa mengevaluasi kegiatan PTT EP lainnya di Indonesia.

“Pemerintah Indonesia harus melakukan tindakan tegas, jalur hukum harus ditempuh agar kejadian ini tidak terulang. Jika memang perlu diambil ketegasan, hentikan segera aktivitas perusahaan PTT EP yang ada di Indonesia,” kata Endre, Rabu (19/4).

PTT EP tercatat menjalin kerja sama dengan PT Pertamina (Persero) dalam pengembangan Blok East Natuna.

Kebocoran minyak dari The Montara Well Head Platform di Blok West Atlas Laut Timor perairan Australia terjadi pada 21 Agustus 2009. Kebocoran pada mulut sumur mengakibatkan tumpahnya minyak dan gas hidrokarbon ke laut hingga ke wilayah perairan Indonesia.

Menurut Endre, akibat dari tumpahan minyak itu menimbulkan masalah lingkungan. Pencemaran yang terjadi di laut memiliki dampak yang besar. “Tidak hanya ekosistem laut yang rusak, tetapi juga perekonomian rakyat NTT yang bersumber dari laut, yakni budidaya rumput laut dan penangkapan ikan mengalami penurunan drastis. Ini karena wilayah perairannya telah terkontaminasi,” ungkap Endre dalam keterangan tertulisnya.

Endre menambahkan, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir belum ada upaya yang jelas dilakukan PTT EP menyikapi ledakan Blok Montara.
“Kejadiannya 2009, bukanlah waktu yang singkat. Maka ini tidak boleh dilupakan dan dibiarkan begitu saja. merusak kedaulatan serta ekositem perairan Indonesia,” tegas dia.

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman sebelumnya menjanjikan akan membawa persoalan pencemaran Laut Timor ke ranah hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut dari rencana tersebut.

PTT EP, sebenarnya sempat menawarkan biaya ganti rugi US$ 3 juta, namun tawaran itu masih jauh dibawah permintaan pemerintah Indonesia sebesar US$ 5 juta.

Dana tersebut diperuntukan untuk biaya kegiatan tanggung jawab social (CSR) kepada masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dan terkena dampak langsung tumpahan minyak.

Kelanjutan penyelesaian kasus ini juga sempat dibahas bersama pemerintah Australia saat Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman bertemu dengan Julie Bishop Menteri Luar Negeri Australia pada Maret lalu. Dukungan dari Australia dinilai penting lantaran kedua negara telah sepakat untuk bekerja sama dalam pencegahan kasus tumpahan minyak.

PTT EP telah 13 kali digugat, tapi terus mengabaikan gugatan. Bahkan pemerintah Indonesia, Australia dan Thailand pernah membentuk tim khusus pada 2013 untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun, PTT EP tidak datang saat penandatangan nota kesepahaman soal penyelesaian kasus tersebut.(RI)