JAKARTA – PT Pertamina (Persero), pemimpin dan anggota konsorsium pengelola Blok East Natuna bersama dengan Exxonmobil dan PTTEP meminta pemerintah untuk turun tangan menengahi pembahasan term anf condition sehingga bisa mempercepat pengelolaan blok tersebut.

Denie S Tampubolon, Senior Vice President Upstream Business Development Pertamina, mengungkapkan dengan kondisi regulasi yang ada saat ini, peran pemerintah menjadi penting untuk mendukung realisasi pengembangan blok dengan cadagan gas sebesar 46 TCF itu.

“Untuk East Natuna, dengan regulasi yang ada harus fokus di government take,” kata Denie di Jakarta.

Lebih lanjut, dia menyatakan terdapat komponen tambahan untuk bisa mengembangkan East Natuna dikarenakan tingginya kandungan serta volume CO2, sehingga perlu treatment berbeda untuk bisa menggali potensi migas di blok tersebut.

“Fasilitas juga berbeda. Untuk produksikan gas di Natuna butuh tempat untuk menampung CO2,” tukas Denie.

Blok Natuna memang bukan blok biasa yang pernah dikembangkan di Indonesia. Keberadaannya di wilayah laut dalam serta keikutsertaan Pertamina dalam proyek tersebut diharapkan bisa juga memberikan manfaat terhadap perkembangan teknologi industri migas di tanah air. Hal itu membuat nilai investasi yang harus disiapkan tidak sedikit. Pada tahun 2008 saja berdasarkan kajian saat itu dana yang perlu disiapkan sekitar US$ 28 miliar.

“Disana akan dibangun fasilitas offshore terbesar, lokasi jauh dari pasar atau remote area, investasi sangat besar,  butuh insentif dan perhatikan situasi minyak saat ini,” ungkap Deni.

Pertamina telah ditunjuk untuk melakukan kajian di East Natuna sejak 2008 bersama mitra yang dipilih berdasarkan arahan pemerintah.  Dalam kurun waktu 8 tahun hingga saat ini anggota konsorsium sudah mengalami pergantian sampai terbentuk komposisi yang ada sekarang, yakni Pertamina, Exxonmobil dan PTTEP.

Konsorsium diberikan batas waktu untuk melakukan kajian hingga 2018, sementara dalam dua tahun terakhir yakni 2016 sampai 2017 tahapan Technology Market Review (TMR) harus sudah rampung. Terdapat lima poin krusial yang dibahas dalam TMR yakni teknologi untuk optimalisasi gas, evaluasi subsuface dalam rangka mengelola kandungan CO2, infrastruktur untuk distribusi gas, pasar atau konsumen gas serta konsep pengembangannya. TMR sendiri diharapkan bisa menjadi salah satu masukan atau poin dalam penentuan pembagian hasil produksi. “TMR ditargetkan selesai pada pertengahan tahun 2017,” kata Denie.

Meskipun TMR baru bisa rampung pada pertengahan tahun depan, Pertamina kata Denie mendukung rencana pemerintah untuk mengejar penandatanganan PSC pada awal tahun depan karena ada beberapa poin kesepakatan yang masih bisa dibahas setelah penandatanganan PSC.

“Tetap diusahakan PSC ditandatangani dulu karena ada term and condition yang bisa didiskusikan setelah TMR rampung,” kata dia.

Satya W Yudha, Anggota Komisi VII DPR, menegaskan untuk kasus East Natuna memang sudah sewajarnya diberikan insentif agar berjalan pengembangannya mengingat tingkat kesulitan dari lapangan yang cukup tinggi. Ia juga tetap meminta campur tangan pemerintah tidak dihilangkan agar bisa lakukan negosiasi dengan kontraktor.

“Yang paling penting overhaul semua sistem kontrak itu sendiri.  Menerapkan modern stabilization clause agar ada ruang negosiasi. Misal perubahan struktur pajak dan lainnya,” tandas Satya.(RI)