JAKARTA – Pemerintah didesak meningkatkan kapasitas penggunaaan energi baru terbarukan (EBT) dalam proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Hal ini bertujuan untuk menekan dampak negatif penggunaan bahan bakar batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Kebijakan Energi Nasional dan target rasio elektrifikasi berpondasi pada energi fosil harus diganti sebagai komitmen pemerintah terhadap perubahan iklim yang makin ekstrim” kata Hendrik Siregar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) di Jakarta, Senin (9/5).

Energi terbarukan, lanjut dia, seharusnya menjadi prioritas dan bisnis utama dalam mengejar rasio elektrifikasi dan pertumbuhan ekonomi.

PT PLN (Persero) mencatat dari total proyek 35 ribu MW, pembangkit dengan total kapasitas 3.862 MW atau 10,9% sudah masuk tahap konstruksi. Bahkan, 397 MW pembangkit telah berhasil beroperasi dan masuk sistem kelistrikan, seperti Pembangkit LIstrik Tenaga Gas (PLTG) Gorontalo.

Longgana Ginting, Kepala Greenpeace Indonesia, mengatakan dengan dampak lingkungan yang ada di depan mata seharusnya bisa dijadikan modal bagi pemerintah untuk membuat target besar terkait penggunaan energi terbarukan.

“Pemerintah harus lebih ambisius dan membangun proses transisi yang adil untuk segera beralih menuju energi bersih terbarukan,” kata dia.

Sementara itu, Din Syamsudin, Ketua Komite Pengarah Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi, menegaskan pembangunan di segala bidang termasuk di sektor energi harus berdasarkan pembangunan yang bernakna. Hal itu bisa diwujudkan dengan penggunaan energi terbarukan yang jelas lebih ramah terhadap lingkungan.

“Tidak ada gunanya pembangunan tetapi meninggal kerusakan,” kata Din.

Lebih lanjut ia mengungkapkan perlu adanya kebijakan ramah lingkungan berorientasi pada manusia di seluruh sendi pemerintahan termasuk daerah.

“Hingga kepada aturan dan perda. Kebijakan yang diusulkan perlu ada peralihan energi terbarukan yang menuntut paradigma moral atau pembangunan bermakna,” tambahnya.

Pemerintah Indonesia juga diminta untuk tidak mengikuti India dan China terkait pembangunan energi, yang pada akhirnya disesali dua negara tersebut karena mengalami tingkat pencemaran udara yang sangat tinggi.

Data Greenpeace menyebutkan saat ini India dan China sudah berangsur mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Pemerintah sendiri melalui Kementerian ESDM terus berupaya meningkatkan EBT hingga mencapai 23% pada 2025.(RI)