Bachtiar Abdul Fatah, terdakwa kasus bioremediasi PT CPI.

Bachtiar Abdul Fatah, salah satu korban kriminalisasi dalam kasus bioremediasi, saat mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor.

JAKARTA – Pemerintah didesak untuk bertindak menegakkan rule of law (aturan hukum yang benar dan berkeadilan, red) guna meluruskan persoalan dan melindungi para pekerja sektor minyak dan gas bumi (migas) yang menjadi korban kriminalisasi dalam kasus bioremediasi. Jika tidak, Indonesia bakal dikecam dunia sebagai negara yang miskin kepastian hukum, dan bukan sasaran investasi yang aman. 

Desakan ini disampaikan analis ekonomi politik dari Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi, menanggapi lesunya iklim investasi di sektor migas, pasca vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Ia mengaku prihatin dengan kondisi sektor hulu migas Indonesia saat ini, yang oleh KADIN dinilai sedang berada di era kegelapan. 

Sebagai solusi, ujarnya, presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, harus mengajak fungsi-fungsi negara yang ada utamanya penegak hukum, untuk kembali pada aturan hukum yang jelas. Persoalan-persoalan yang berada dalam lingkup perdata atau administrasi, jangan semena-mena dibawa ke ranah pidana, apalagi tuduhan tindak pidana korupsi. 

“Dalam situasi seperti ini, peran presiden sangat dibutuhkan guna melindungi warga negaranya dari perlakuan yang tidak adil, dan melindungi iklim investasi agar tetap kondusif. Mempidanakan suatu kontrak bisnis, akan membuat Indonesia menjadi bahan gunjingan masyarakat dunia,” jelas Airlangga saat ditemui di Jakarta, pada Jumat, 7 Februari 2014.  

Lebih lanjut ia mengatakan, kalau tidak ada upaya yang serius dari pemerintah guna meluruskan persoalan ini, maka Indonesia bakal mendapat sorotan negatif dunia internasional. Terlebih para pekerja migas yang dikriminalisasi, bisa membawa kasus ini ke ranah internasional guna mencari keadilan.

“Jika itu terjadi, maka dunia akan menempatkan Indonesia sebagai negara yang tidak mempunyai kepastian hukum, memberikan catatan merah sebagai negara tujuan investasi, dan dalam jangka panjang akan berdampak buruk pada iklim investasi dan kondisi ekonomi di dalam negeri,” ucap kandidat PhD dari Asia Research Centre Murdoch University Australia ini.   

Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menuturkan, kriminalisasi dalam kasus bioremediasi harus menjadi perhatian serius pemerintah. Pasalnya, berdasarkan pemantauan dan penyidikan Komnas HAM, telah terjadi pelanggaran HAM, diskriminasi, dan konspirasi aparat penegak hukum, dalam proses hukum kasus bioremediasi.

“Independensi dan imparsialitas penegak hukum patut dipertanyakan dalam kasus bioremediasi. Hal ini terlihat dari adanya saksi dan ahli yang tidak obyektif, dan putusan Majelis Hakim yang selalu diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda, red),” ungkap Pigai.

Ia juga menilai, Kejaksaan Agung sebenarnya tersandera dengan keputusannya memperkarakan bioremediasi. Setelah kasus berjalan dan mendapat tanggapan banyak pihak, tampak benar kasus bioremediasi bukanlah kasus korupsi. Tapi Kejaksaan Agung tidak bisa mundur lagi. “Dalam hal ini, Kejaksaan Agung disandera oleh kepentingan pihak-pihak tertentu,” tandasnya. 

Terjadi Pembiaran

Dalam situasi seperti ini, kata Pigai, mestinya Presiden yang bisa memberikan keadilan, dan melindungi warga negaranya dari kriminalisasi. Namun selama Presiden diam, maka jajaran pemerintah yang lain pun akan diam. “Padahal jelas dalam kasus ini banyak sekali aturan Kementerian Lingkungan Hidup yang dilanggar Kejaksaan. Mestinya pemerintah protes,” kata Pigai lagi.

Ia pun melanjutkan, jika nantinya hingga tingkat kasasi para korban kriminalisasi tidak kunjung mendapat keadilan, dan tidak juga mendapat perlindungan dari pemerintah, maka mereka bisa membela hak-haknya ke Mahkamah Internasional. “Kami siap membantu jika mereka mengadu ke tingkat internasional, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas rekomendasi Komnas HAM,” tegasnya.

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) DR Mudzakkir, SH, MH menilai, dalam melindungi warga negara yang terkena kriminaliasi seperti dalam kasus bioremediasi ini, penyelenggara negara bisa melakukannya dengan mengembangkan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK). Karena dalam institusi MK, ada yang dikenal dengan “Constitusional Complaint”, yakni penanganan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

“Fungsi constitusional complaint pada MK ini sudah diterapkan di negara-negara Uni Eropa. Adanya MK juga kan merujuk ke sana, jadi tidak ada salahnya fungsi itu diadopsi oleh MK di Indonesia. Intinya kita harus mendukung negara agar proaktif melindungi warganya yang dikriminalkan, atau dalam bahasa saya, mendapat perlakuan hukum yang tidak standar,” jelas Mudzakkir.

Sebelum sampai ke sana, lanjut Mudzakkir, pemerintah dalam hal ini presiden atau minimal Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus tampil di depan publik, untuk membela HAM pekerja migas yang dikriminalkan dalam kasus bioremediasi. “Kalau itu tidak dilakukan, maka pemerintah bisa dituduh telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang menimpa warga negeranya,” tandas Mudzakkir. 

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)