JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menerbitkan regulasi baru dalam tata kelola gas. Regulasi tersebut terkait patokan maksimal margin keuntungan yang akan diperoleh dalam setiap penyaluran gas, baik transmisi maupun distribusi.

“Marginnya maksimal tujuh persen, kalau sekarang kan tidak ada aturan. Jadi margin trading ada yang ambil banyak, ada yang sedikit. Itu yang akan kita batasi,” kata IGN Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM disela rapat kerja Kementerian ESDM dengan Komisi VII DPR, Kamis (30/3).

Menurut Wiratmaja, saat ini aturan main dalam pendistribusian gas, baik untuk produsen ataupun trader gas sedang tahap finalisasi.

Dengan adanya aturan baru maka alur distribusi dan transmisi yang berlapis pembagian margin keuntungan tidak lagi bisa ditetapkan trader. Pemerintah nantinya akan menetapkan margin maksimal yang bisa diambil trader.

“Trading sekarang bisa berlapis-lapis. Nanti total dari hulu ke end user itu 7 persen. Nanti ada 10 lapis, misalnya nanti tinggal dibagi saja,” ungkap Wiratmaja.

Selain menetapkan batas maksimal margin keuntungan, pemerintah juga menetapkan batas maksimal depresiasi pipa yang digunakan maksimal 15 tahun. Selama ini nilai depresiasi pipa hanya dinilai berdasarkan nilai kontrak yang disepakati antara trader dan konsumen gas.

Padahal umur pipa bisa lebih panjang dan bermanfaat untuk menyalurkan gas dari sumber lain, ketika suatu kontrak sudah habis terlebih dulu.

“Kondisi saat ini tergantung dapat kontrak. Kalau dapat kontrak 5 tahun, dia 5 tahun depresiasinya. Jadi kan mahal sekali, padahal pipa transmisi atau distribusi kalau gasnya tidak ada disini bisa masuk gas dari mana-mana,” ungkap dia.

Nilai tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return / IRR) juga tidak luput dari perhatian. Dalam aturan baru nanti telah diputuskan maksimal IRR sebesar 11 persen. Dengan adanya batas maksimal IRR diharapkan tercipta kondisi usaha yang lebih sehat karena biaya yang harus dikeluarkan konsumen gas bisa sesuai dengan infrastruktur yang dibangun.
Berbeda dengan kondisi saat ini pipa yang memiliki panjang hanya sekian ratus meter, toll fee-nya justru bisa lebih mahal dari pipa yang panjangnya ratusan kilometer.

“Kalau yang ada sekarang kan kayak itu misal pipanya 700 meter biayanya hampir US$1. Padahal kalau dihitung dengan IRR 11 persen, mungkin dia nol koma sekian dolar, sementara yang memiliki pipa 200 km toll fee hanya US$0,5, ini yang harus kita adilkan,” tutur Wiratmaja.

Saat ini ada sekitar 60 perusahaan trader atau calo gas di Indonesia, namun hampir semua tidak mempunyai infrastruktur. Mekanisme penyaluran gas melalui trader menjadi salah satu faktor mahalnya harga gas di tanah air.

Menurut Wiratmaja, jika penerapan regulasi sudah berjalan ditargetkan bisa menciptakan efisiensi. “Yang jelas ada efisiensi, kalau di grafik kelihatan sekali yang tadi harga gasnya tinggi bisa diturunkan,” tandasnya.(RI)