JAKARTA- Pemerintah baru harus turun tangan mengatasi persoalan hukum yang dihadapi karyawan migas. Apalagi tuntutan yang jatuhkan dinilai tidak memiliki bukti dan fakta hukum yang kuat. Jika tidak, karyawan migas akan berada dalam keresahan berkepanjangan sehingga mempengaruhi kinerja.  Mereka berada dalam kondisi yang tidak menentu akibat rekan seprofesi  dihukum dengan tuduhan yang tidak mereka  kerjakan.

 

Demikian benang merah diskusi publik bertema “Implikasi Putusan Pengadilan terhadap Karyawan Migas dalam mengerjakan proyek Pemerintah” yang diselenggarakan oleh Editor Energy and Mining Society (E2S), di Jakarta, Kamis 6 November 2014. Hadir dalam diskusi tersebut, M Hakim Naustion, Pakar Hukum Migas, Bambang Ismanto, Ketua umum Ikatan Ahli teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) dan Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Hermanto Achmad.
Diskusi ini mencuat setelah Mahkamah Agung (MA) memutus bersalah, Bachtiar Abdul fatah, Karyawan Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam proyek bioremediasi, dengan tuntutan 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Empat orang karyawan CPI lainnya, masih menunggu keputusan. Sebelumnya, 2 kontraktor yang mengerjakan proyek bioremediasi sudah terlebih dahulu mendekam di hotel prodeo.
M. Hakim Nasution, pakar hukum migas yang juga pernah menjadi saksi ahli untuk kasus ini mengatakan, dilihat dari fakta hukum dan bukti-bukti selama persidangan, karyawan Chevron maupun kontraktor proyek bioremediasi tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dituduhkan. Kasus bioremediasi lebih kuat elemen politis ketimbang aspek hukum.
“Ini kasus yang aneh. Bermula dari laporan orang yang kalah tender kemudian menjerat orang yang baru duduk di posisi proyek tersebut ke meja hijau dan dipenjara. Ada keganjilan. Mereka (terdakwa) dizolimi,” ujarnya.
Keganjilan ini, lanjut pria yang pernah 20 tahun bekerja di industri migas, karena minimnya pengetahuan penegak hukum tentang industri migas. Penegak hukum, lanjutnya tidak memahami apa itu production sharing contract (PSC), bagaimana mekanisme kerja di industri migas. Sebagai negara yang memiiliki sumber daya alam, seharusnya penegak hukum juga dibekali soft skill terkait industri strategis seperti migas atau pertambangan ataupun komersial, bukan hanya pemahaman tentang aspek hukum semata.
Kalau saja penegak hukum memahami tentang mekanisme di sektor migas, tentu akan mengerti persoalan lebih jauh dan lebih jernih dalam memutus perkara. Dan tidak menjadikan aspek politik sebagai pertimbangan dalam memutuskan sebuah kasus.
“Atas dasar tuduhan “dapat” merugikan negara, tetapi negara juga kehilangan pendapatan dalam jumlah yang lebih besar lagi,” ujar Hakim yang sejak 2005 membuka kantor konsultan hukum ini.
Dalam mengerjakan pekerjaan di sektor migas, pengawasannya ketat dan berlapis karena harus melalui persetujuan pemerintah. ada audit yang berkali dilakukan mulai dari internal perusahaan juga oleh SKK migas. Mulai dari rencana tender, pengumuman dan penunjukan semuanya harus melalui persetujuan SKK Migas.
“Dalam kasusu Chevron, semua saksi ahli sudah dimintai pendapat. Namaun semuanya tidak ada yang dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara,” ujarnya.
PSC dinaungi oleh undang-undang perdata. Walaupun memang bisa dipidanakan kalau memang karyawan melakukan tindak pidana. Bahkan jika memang ada unsur pidana sekalipun, mekanisme perdata dan administrasi harus terlebih dahulu diselesaikan. Tindak pidana adalah ultimum medium, tindakan yang paling akhir.
“Kalau ada venue lain sebelum pidana lakukan dulu. Didik dulu,” demikain ungkapnya lagi.
Ketua IATMI, Bambang Ismanto mengatakan, dengan kejadian yang dialami karyawan dan kontraktor Chevron di proyek bioremediasi, membuat resah seluruh karyawan migas di lapangan. Keresahan karyawan di lapagan akan mengganggu jalannya aktivitas mereka. Padahal, produksi, sangat tergantung pada kenyamanan profesional migas dalam menjalankan pekerjaan mereka.
“Kalau kerja tidak tenang, resah, akan berpengaruh terhadap semua. Palagi kalau sudah melaksanakan dengan benar sesuai prosedur, tetapi oleh penegak hukum dianggap berasalah. Keresahan akan menjalan ke mana-mana,” urainya.
Dampaknya, profesional migas enggan bekerja di industri migas dalam negeri dan lebih memilih untuk menjalankan profesionalisme mereka di perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri. Saat ini, setidaknya terdapat 400 profesional migas yang memilih bekerja di luar negeri. Di luar, kesejahteraan karyawan akan lebih bagus, pun demikian kepastian hukum ada, sehingga secara psikologis mereka tenang dalam menjalankan pekerjaan mereka.
Dengan tidak adanya kepastian hukum, investasi di sektor migas akan mengalami penurunan langsung ataupun tidak langsung. Padahal, bagi investor, kepastian hukum merupakan syarat mutlak karena pentingnya aspek ini. Kehadiran investor masih sangat dibutuhkan, apalagi dalam 10 tahun terakhir, belum ada lagi penemuan sumber minyak baru yang besar. “Kepasdtian hukum merupakan syarat nomor nol, “ ujar Bambang
Bambang maupun Hakim menyebutkan tantangan industri migas ke depan jauh lebih berat. Karena sumber-sumber minyak kini sudah mulai susah. Kalaupun ada, lokasinya berada di laut dalam dan di Indonesia bagian timur dengan kondisi infrastruktur yang sangat minim, membutuhkan investasi yang lebih besar dan teknologi yang lebih canggih.
Mereka berhatap pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi diharapkan memberikan titik terang dan kepastian hukum dan keadilan bagi karyawan migas, maupun industri strategis lainnya sehingga investasi di sektor migas ke depannya bisa lebih baik. Salah satu yang menjadi penyebab mengapa kasus bioremedasisi mengemuka karena buruknya leadership pemerintah.
“harapan besar kita berikan kepada pemerintah baru, semoga lebih baik, ada keadilan dan tidak ada lagi kasus seperti ini terjadi di masa depan,” ujar Hakim