JAKARTA – Pemerintah menetapkan batasan minimal penjualan batu bara untuk alokasi dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebesar 25% dari rencana produksi 2018 yang disetujui. Dengan persentase sebesar 25%, maka kewajiban DMO bisa naik menjadi 121 juta ton. Pasalnya, Kementerian ESDM menetapkan batas atas produksi batu bara 2018 sebesar 484 juta ton.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, mengatakan jumlah DMO berdasarkan realisasi produksi sepanjang tahun lalu sebanyak 461 juta ton ditambah 5% toleransi ekspansi produksi yang bisa diberikan Kemementerian ESDM.

“Pada 2018, pemerintah memberikan toleransi kenaikan 5% dari realisasi 2017,” kata Bambang.

Produksi batu bara nasional dipatok maksimal sebesar 484 juta ton pada 2018, 25% di antaranya dialokasikan untuk pasar domestik.

Keputusan batas minimal ini sesuai ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM No. 23 K/30/MEM/2018, dan diwajibkan untuk para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah memasuki tahap operasi produksi.

Bagi perusahaan yang tidak memenuhi persentase minimal DMO tersebut, akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2018. Selain itu, pengurangan kuota ekspor pun akan dikenakan sesuai jumlah DMO yang tidak terpenuhi.

Perusahaan dapat mengajukan permohonan ekspor setelah DMO itu terpenuhi.
Untuk diketahui sepanjang tahun lalu, DMO batu bara tercatat sebanyak 97 juta ton, lebih rendah dari target sebanyak 121 juta ton. Artinya, sebanyak 364 juta ton atau 78,96% dari total produksi masih diekspor.

Kementerian ESDM menargetkan pemanfaatan batu bara domestik pada tahun ini bisa mencapai 114 juta ton seiring peningkatan kebutuhan dari industri-industri di dalam negeri.

Menurut Bambang, ada beberapa faktor yang menyebabkan DMO lebih rendah dari target. Salah satunya bukan karena pasokan yang tidak mencukupi melainkan penyerapan batu bara yang mengalami gangguan.

“Banyak faktor memengaruhi, antara lain karena belum mulainya PLTU-PLTU yang seharusnya kami plot dan juga ada beberapa industri yang mengalami kendala,” kata Bambang.(RI)