JAKARTA – Pemerintah memberikan wewenang penuh kepada pelaku usaha untuk melakukan standarisasi keselamatan instalasi dan peralatan dalam kegiatan usaha minyak dan gas melalui penerbitan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18/2008 tentang Pemeriksaan Keselamatan lnstalasi dan Peralatan pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.

Seiring terbitnya regulasi tersebut maka hanya dibutuhkan satu sertifikat atau persetujuan yang harus dipenuhi, itupun diperoleh berdasarkan penilaian badan usaha sendiri atau pihak ketiga yang berkompeten yang ditunjuk badan usaha tersebut.

Soerjaningsih, Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, mengatakan Permen No. 18/2018 merupakan salah satu tindak lanjut penyederhanaan alur birokrasi yang dilakukan pemerintah untuk mempermudah pelaku usaha dalam berkegiatan. Permen terbaru tersebut merupakan pengganti Permen Nomor ESDM 38/2017.

Dengan adanya permen tersebut ada beberapa penyederhanaan syarat sertifikasi yang harus dipenuhi pelaku usaha.

Pertama, penghapusan persetujuan desain dari kepala inspeksi (ditjen migas) menjadi hasil penelaahan desain dari kepala teknik (badan usaha/bentuk usaha tetap). Penghapusan persetujuan penggunaan dari kepala inspeksi (ditjen migas) menjadi hasil inspeksi dari kepala teknik (badan usaha/bentuk usaha tetap) atau sertifikat inspeksi (perusahaan inspeksi).

“Penghapusan persetujuan hasil analisis risiko dari kepala inspeksi (ditjen migas),” kata Soerjaningsih saat pemaparan sosialisasi Permen ESDM Nomor 18/2018 di Gedung Migas Jakarta, Selasa (13/3).

Selain itu ada juga penyederhanaan persyaratan perusahaan inspeksi, dengan menggabungkan surat pengesahan dan kualifikasi peringkat perusahaan inspeksi ke dalam surat kemampuan usaha penunjang (SKUP) perusahaan inspeksi dengan bintang 3.

Penyederhanaan persyaratan perusahaan engineering dengan meniadakan surat keterangan terdaftar (SKT) menjadi surat kemampuan usaha penunjang (SKUP) perusahaan enjineering dengan bintang 2.

Beleid terbaru juga menyebabkan adanya penghapusan evaluasi dan pengesahan calon kepala teknik (BU/BUT) oleh kepala inspeksi (Ditjen Migas).

Serta penghapusan persetujuan hasil penilaian sisa umur layan dari kepala inspeksi (Ditjen Migas) penghapusan persetujuan desain, persetujuan penggunaan, dan persetujuan layak operasi (Ditjen Migas) untuk instalasi SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) menjadi inspeksi mandiri oleh kepala teknik (badan usaha/bentuk usaha tetap).

Jika merunut dari aturan sebelumnya, cukup banyak pemangkasan sertifikasi dilakukan. Bayangkan saja, untuk mendapatkan sertifikasi keselamatan instalasi, satu badan usaha perlu mengurus 3.289 izin atau sertifikat. Namun kini yang dibutuhkan hanya lima persetujuan dengan masing-masing satu sertifikat untuk jenis instalasi pemboran, produksi, kilang, pipa penyalur, terminal BBM, SPBG CNG serta instalasi SP(P)BE.

“Dulu direktur teknik satu tahun tanda tangan 24 ribu surat persetujuan. Satu hari kurang lebih 125 surat. Dengan Permen 38 sudah tereduce banyak, tapi kurang jadi harus bisa reduce lagi jadi tinggal satu sertifikat,” ungkap Soerjaningsih.

Namun demikian prinsip transparansi dan obyektivitas masih tetap harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam persetujuan penerbitan izin kegiatan nantinya.

Soerjaningsih mengatakan apabila desain dikerjakan pihak ketiga kepala teknik bisa bisa memberikan persetujuan, sementara jika dikerjakan kepala teknik maka persetujuan tetap harus dilimpahkan ke lembaga engineering.

“Jadi prinsip obyektivitas harus dijaga. Artinya kepala teknik boleh orang yang punya kualifikasi. Atau bisa pakai perusahaan inspeksi. Perusahaan inspeksi juga harus melakukan pembenahan,” tandas Soerjaningsih.(RI)