Persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

JAKARTA – Pemberantasan korupsi yang merupakan suatu tugas mulia, seharusnya tidak ternoda oleh tindakan aparat penegak hukum yang sembrono. Jika itu terjadi, maka hanya akan menghancurkan martabat orang, yang harus menanggung musibah sepanjang hayatnya karena jabatannya.    

Pengacara senior, Maqdir Ismail mengungkapkan, memberantas korupsi adalah kewajiban seluruh warga negara yang berakal sehat. Mengingat daya rusak korupsi yang luar biasa, baik terhadap perekonomian bangsa, dan tentu saja mental banyak orang termasuk penikmat korupsi.

Namun saat ini, ujarnya, daya rusak yang luar biasa itu, juga dialami oleh korban pemberantasan korupsi yang tidak adil. “Faktanya, ada orang yang diadili dalam kasus korupsi tanpa konsep keadilan, hanya karena curiga dan asumsi bahwa orang jujur pun akan menikmati hasil korupsi kalau ada kesempatan,” jelasnya kepada Dunia Energi di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2013.  

Menurut Maqdir, pembuktian yang paling mudah, ialah dalam perkara suap atau gratifikasi. Yakni terkait adanya penerimaan nyata, apalagi kalau  tertangkap tangan. Namun untuk pembuktian terhadap korupsi yang dituduhkan kepada pembuat kebijakan, penegak hukum harus benar-benar teliti.  

“Tuduhan korupsi pada pembuat kebijakan, pembuktiannya tidak semudah membuktikan suap. Sebab pembuat kebijakan atau yang menyetujui kebijakan, acapkali tidak mengikuti detail suatu kegiatan yang dituding sebagai perbuatan korupsi. Misalnya dalam kegiatan pengadaan,” terang penasehat hukum karyawan PT Chevron Pacific Indonesia dalam perkara bioremediasi ini.  

Menghancurkan Martabat Orang

Ironisnya, lanjut Maqdir, meski tuduhan korupsi pada pembuat kebijakan itu pembuktiannya cukup sulit, dalam praktiknya saat ini menetapkan seseorang menjadi tersangka korupsi justru sangat mudah. Bahkan, meskipun belum ada penghitungan kerugian negara, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penyidik. Bukti dan keterangan saksi, dapat dicari dikemudian hari.

Seolah memutar kembali rekaman kejadian penetapan para tersangka dalam kasus bioremediasi, Maqdir mencermati bahwa penetapan tersangka itu acapkali dimulai dari penetapan saksi. Tak jarang, keterangan saksi diperoleh dengan sedikit ancaman, saksi bakal dijadikan tersangka kalau dianggap menghalangi penyidikan, atau  dijadikan tersangka melakukan perbuatan pidana bersama-sama.

Modus lainnya, saksi diminta memberikan keterangan berdasarkan interpretasinya terhadap satu dokumen. Keterangan saksi ini pun kemudian dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup, untuk menjadi alat menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Sekarang ini, cara yang paling mudah untuk mengancurkan harkat dan martabat seseorang, adalah dengan melaporkannya melakukan korupsi, dan mengumumkan laporan itu melalui media. Kalah tender, laporkan saja ada pengadaan tidak sesuai aturan, penunjukan langsung karena kolusi, dan lain-lain. Terbukti atau tidak, itu urusan nanti,” tukas Maqdir resah.

Padahal yang dituduh korupsi, sudah terlanjur cemar nama baiknya sepanjang proses peradilan, yang bisa berlangsung bertahun-tahun. Ini pula yang terjadi pada tujuh terdakwa kasus bioremediasi, lima diantaranya karyawan Chevron, dan dua lainnya kontraktor yang bahkan sudah dipidana.       

Terlalu Mudah Menuduh Korupsi

Hal lain yang juga meresahkan Maqdir, dalam upaya memberantas korupsi dewasa ini, ada kecenderungan terlalu mudah penegak hukum menuduh orang korupsi, dan menyeretnya ke pengadilan. Bagi penyidik, untuk membuktikan laporan tersebut benar, tinggal dicari ahli yang  menerangkan bahwa kegiatan pihak yang dilaporkan salah, dan tidak sesuai ketentuan.

Langkah selanjutnya, tinggal meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung kerugian negara, dengan mengikuti keterangan ahli yang ditunjuk penyidik secara utuh. Apa yang dipaparkan Maqdir ini, dalam catatan Dunia Energi sangat mirip dengan yang terjadi pada kasus bioremediasi. Bahkan ahli yang ditunjuk penyidik, adalah orang yang pernah kalah tender bioremediasi di Chevron.  

Toh Maqdir tidak menampik hal itu. Terbukti, ujarnya, dengan cara tersebut, menjadikan perkara pidana lingkungan atau perkara perdata sebagai perkara korupsi, dengan mudah dapat dilakukan. Tidak adanya batasan perkara korupsi atau bukan, memudahkan penyidik memberikan interpretasi bahwa satu perkara  adalah perkara korupsi. 

Advokat bergelar doktor hukum ini pun mengulas sebuah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, tentang Pengujian Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UUTPK). Putusan MK itu, telah memberi batasan satu perkara sebagai perkara korupsi atau bukan perkara korupsi.

Keluarnya putusan MK itu, ulas Maqdir, karena Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK tentang sifat melawan hukum materiil dinyatakan tidak mengikat secara hukum.  Putusan tersebut telah menegasikan sifat melawan hukum materiil, dan hanya mengakui sifat melawan hukum formil.

Namun dalam praktik peradilan korupsi, ungkapnya, terdakwa selalu dijerat dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UUTPK, karena melawan hukum secara materiil. “Kedua pasal ini sudah menjadi “pasal sapu jagad” dalam pemberantasan korupsi. Semua terdakwa dengan mudah dijerat kedua pasal ini, tidak peduli orang swasta atau pegawai BUMN, kecuali yang tertangkap tangan karena menerima suap atau gratifikikasi,” tuturnya.   

Memberantas Korupsi Dengan Adil

Diujung pemaparannya, Maqdir menarik suatu kesimpulan bahwa Untuk melakukan pemberantasan korupsi  dengan baik, berhasil dan berkeadilan, yang harus segera dilakukan adalah melakukan perubahan legislasi dalam pemberantasan korupsi. Khususnya yang berkenaan dengan penafsiran tindakan melawan hukum secara materiil dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UUTPK.

“Memberantas korupsi sebagai program mulia yang dilakukan oleh penegak hukum tentu harus diberi apresiasi. Namun proses pemberantasan korupsi yang menghukum para koruptor karena jabatannya, bukan karena kejahatannya tentu  harus dihindari,” tandasnya.

Mirip dengan keterangan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Prof DR Edward Omar Hiariej, SH dan pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) DR Mudzakkir SH, MH di depan persidangan kasus bioremediasi, Maqdir menegaskan bahwa dihukumnya para pembuat kebijakan atau orang yang menyetujui kebijakan tanpa ada niat untuk melakukan kejahatan, sama saja dengan kejahatan yang dilakukan atas nama hukum.

“Inilah yang terjadi pada orang-orang sebagai pejabat pembuat komitmen. Mereka akan dengan mudah mendapat peredikat sebagai  koruptor, karena menguntungkan orang lain atau korporasi. Meskipun mereka tidak mendapatkan kenikmatan dari hasil korupsi, tetapi mengalami musibah sepanjang hayat. Koruptor jenis ini yang harus diberi keadilan, bukan dizalimi atas nama hukum,” pungkas Maqdir.

Menanti Ketukan Palu Wakil Tuhan

Dalam catatan Dunia Energi, semua terdakwa dalam kasus bioremediasi diseret ke pengadilan, bukan karena adanya perbuatan yang nyata-nyata merupakan suatu tindak pidana korupsi. Melainkan karena posisi atau jabatan yang melekat pada diri mereka, yang dianggap tahu tentang adanya suatu potensi terjadinya kerugian negara.

Herland bin Ompo dan Ricksy Prematuri misalnya, keduanya kontraktor bioremediasi Chevron, dianggap bersalah karena mengerjakan proyek bioremediasi Chevron, tanpa memegang izin dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Meski beberapa pejabat KLH di depan persidangan menyatakan kontraktor tidak harus berizin, karena yang harus memegang izin adalah Chevron selaku pemilik limbah yang dibioremediasi, tetap saja keduanya divonis bersalah dan harus mendekam di penjara.

Demikian pula dengan terdakwa Endah Rumbiyanti, Kukuh Kertasafari, Widodo, Bachtiar Abdul Fatah, dan Alexia Tirtawidjaya, dituduh korupsi dengan alasan bahwa jabatan mereka di Chevron, memungkinkan mereka tahu tentang pelaksanaan proyek bioremediasi. Padahal para saksi sudah menjelaskan, yang bertanggung jawab dalam proyek bioremediasi Chevron adalah Tim IMS-REM. Namun orang yang bersangkutan sampai saat ini justru belum pernah diperiksa penyidik.

Kukuh lebih parah lagi. Saat ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung, ia disangka Team Leader Bioremediasi. Padahal jabatan Kukuh adalah Team Leader Produksi, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bioremediasi. Belakangan, mungkin agar tidak membuat mubazir kerja penyidik, Kukuh didakwa korupsi dari posisinya sebagai Koordinator EIST, yang dianggap tahu tentang klaim tanah tercemar limbah.       

Bioremediasi sendiri sesungguhnya proyek lingkungan yang dinaungi Production Sharing Contract (PSC) migas, yang merupakan murni kontrak perdata antara Pemerintah Indonesia dan Chevron selaku Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas. Sejumlah pakar hukum pun telah menegaskan di persidangan, kasus ini tidak selayaknya dibawa ke ranah pidana.

Toh sekarang, semuanya kembali pada putusan majelis hakim, selaku wakil Tuhan di muka bumi, yang akan mengetukkan palu keadilan. Endah, Kukuh, dan Widodo bakal mendengarkan pembacaan putusan untuk dirinya pada 17, 18, dan 19 Juli 2013. Sedangkan Bachtiar, masih harus menjalani reli persidangan, sepanjang Ramadan. Untuk Alexia yang sedang menemani suaminya berobat di Amerika, kabarnya diupayakan untuk menempuh persidangan in absentia.     

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)

Artikel terkait:

Jungkir Balik Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kasus Bioremediasi. Link: https://www.dunia-energi.com/jungkir-balik-pertanggungjawaban-pidana-dalam-kasus-bioremediasi/

Terjerat Kesumat Ahli Bioremediasi. Link: https://www.dunia-energi.com/jerat-kesumat-ahli-bioremediasi/