JAKARTA – Pemerintah menegaskan pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas (migas) maupun tambang ditujukan untuk perbaikan dan peningkatan kemampuan perusahaan milik negara. Rini Soemarno, Menteri BUMN, mengatakan rencana pembentukan perusahaan yang kuat sebagai korporasi sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan BUMN menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Pak Presiden kan selalu menekankan, bagaimana mengkorporasikan koperasi. Jadi memang semua ini harus bisa dihitung secara komersial, sehingga pertanggungjawaban dan targetnya jelas,” kata Rini di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (18/4).

Dia menambahkan tujuan pembentukan holding BUMN juga untuk mengoptimalkan kemampuan BUMN sebagai korporasi yang berkualitas dan transparan sehingga mampu mendukung berbagai program pemerintah.

“Banyak hal dalam program pemerintah kalau kita mau mendukung perekonomian, didorong dari sisi komersial dan dari sisi korporasi,” kata Rini.

Menurut Rini, komersialisasi sangat penting bagi korporasi. Karena dengan adanya komersialisasi maka akan ada keberlanjutan usaha yang ujungnya akan memberikan hasil ke negara. Untuk itu BUMN harus diperkuat.
“Apapun aktivitasnya harus bisa memberikan hasil, sehingga dia (BUMN) berkelanjutan. Nah ini yang saya harapkan BUMN ke depan bisa memberikan dukungan ini,” tegas Rini.
Hingga saat ini, pembentukan holding BUMN migas dan tambang belum juga terealisasi. Pemerintah berencana menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) menjadi bagian dari PT Pertamina (Persero) dalam holding BUMN migas. Serta membentuk holding BUMN tambang yang menggabungkan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Timah Tbk (TINS).
Rencana pembentukan dua holding BUMN tersebut masih terganjal DPR yang tidak menyetujui beberapa poin yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 karena dianggap berpotensi menjadikan BUMN dikuasai asing akibat adanya penyertaan modal tambahan bagi BUMN.
PP 72 diterbitkan pemerintah pada akhir 2016 yang merupakan perubahan atas PP 43 Tahun 2005 yang berisi penatausahaan modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas.
Pada pasal 2A ayat 1 disebutkan penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lainnya dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Poin itulah yang menjadi salah satu penolakan DPR karena berarti tidak ada pengawasan dari parlemen terhadap uang negara yang ada di dalam BUMN.
Menurut Rini saat ini pemerintah terus berkoordinasi dengan Komisi VI DPR dalam pembahasan PP 72 agar bisa disepakati bersama sehingga peraturan berikutnya untuk membentuk holding bisa segera diterbitkan. Ia optimis parlemen akan mengerti dengan mekanisme pengembangan BUMN yang ditawarkan oleh pemerintah.
“Kami harapkan dalam waktu dekat ada raker lagi memfinalisasi. Kita sepakat ke depan ini sehubungan dengan holdingisasi, PP 72. Harusnya saya harapkan tidak ada isu lagi,” tandas Rini.(RI)