JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bergerak cepat untuk segera membentuk induk usaha (holding) BUMN minyak dan gas dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk ke dalam T Pertamina (Persero).
Edwin Hidayat Abdullah, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN,  mengungkapkan pembentukan holding BUMN migas untuk meningkatkan daya saing BUMN dalam rangka menghadapi tantangan daya saing di sektor migas.
Skema holding BUMN migas terdiri atas Pertamina sebagai induk usaha dengan kepemilikan saham 100% oleh negara. Pertamina nantinya akan menguasai 57% saham milik pemerintah di PGN.
Strategi pelaksanaan holding migas pada jangka pendek yaitu quick wins dengan mengintegrasikan Pertamina dan PGN yang dilanjutkan sinergi operasional dan komersial pada jangka menengah dan panjang.
“Dengan adanya holding migas, diharapkan Pertamina akan dapat memperluas jangkauan gas kepada masyarakat dan dunia usaha dengan harga yang kompetitif,” kata Edwin, Kamis (7/12).
Kedepannya, PGN akan menjadi tangan Pertamina dalam melaksanakan kegiatan bisnis midstream dan downstream gas, termasuk transmisi dan distribusi gas alam.
“Diharapkan holding BUMN akan memiliki struktur neraca keuangan yang lebih kuat, sehingga memperlancar tugas Pertamina sebagai BUMN Energi,” ungkap dia.
Dalam data kajian pembentukan holding migas yang diserahkan ke Kementerian Keuangan yang diterima Dunia Energi,  menunjukkan adanya tantangan besar bagi Pertamina maupun PGN dalam menjalankan bisnis di masa yang akan datang, sehingga pemerintah menyiapkan skema holding migas sebagai jalan keluar.
Dalam data tersebut diungkapkan beberapa kesulitan yang akan diterima Pertamina misalnya terkait penurunan potensi pendapatan Pertamina sebesar Rp 19 triliun dari periode Januari sampai September 2017 akibat tidak ada penyesuaian harga BBM di tengah tren kenaikan harga minyak dunia.  Harga minyak mentah rata-rata sudah mencapai US$60 per Barel jauh diatas asumsi pemerintah sebesar US$41 per barel.
Hal itu diperparah dengan adanya kenaikan outstanding piutang Pertamina sampai dengan 27 Oktober 2017 sebesar Rp 39,6 triliun.
Disisi lain, berbagai regulasi di sektor midstream dan downstream gas yang akan diterbitkan berpotensi mengganggu rencana  ekspansi bisnis perusahaan.
Salah satu kasus adalah pengaturan harga dan alokasi untuk konsumen di sektor kelistrikan, pupuk, baja, petrokimia dan industri tertentu. Belum lagi dengan dipersiapkannya regulasi yang  mengatur wilayah distribusi dan niaga tertentu. Serta juga akan dilakukan pengaturan margin terkait infrastruktur dan niaga gas.
Regulasi dan kebijakan tersebut tentu berpotensi memangkas potensi pendapatan PGN di masa yang akan datang.
Dalam kajian tersebut disebutkan bahwa dengan holding migas maka value chain bisnis gas akan terintegrasi dari upstream, midstream dan downstream sehingga akan memberikan keuntungan maksimal bagi Pertamina, PGN.
Dari sisi finansial, holding BUMditargetkan akan meningkatkan kapasitas investasi group holding sebesar USD 32 miliar (Rp 416 triliun selama 15 tahun kedepan) dan menghasilkan value creation sebesar USD 25,3 miliar (Rp 329 triliun).
Elia Massa Manik, Direktur Utama Pertamina sebelumnya juga menyatakan bahwa pembentukan holding harus memastikan adanya penambahan value creation seluruh pihak.
“Yang jelas adanya holding ini kan harus menghasilkan peningkatan value creation dalam bisnis migas kita,” ungkap Massa beberapa waktu lalu.
Hal senada juga diamini oleh manajemen PGN yang meyakini pembentukan holding BUMN migas dalam upaya melakukan konsolidasi pengelolaan gas bumi akan memberikan banyak manfaat bagi negara dan masyarakat.
Rachmat Hutama, Sekretaris Perusahaan PGN, menyatakan pembentukan holding migas untuk mencegah dualisme pengelolaan hilir gas bumi domestik. “Pembentukan holding migas ini tentu sebagai salah satu cara menghindari duplikasi pengelolaan hilir gas bumi,” kata Rachmat.(RI)