JAKARTA – Rencana pemerintah untuk membentuk BUMN geothermal (panas bumi) yang besar di Indonesia dapat dilakukan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), tanpa harus melibatkan PT PLN (Persero) yang sepatutnya berkonsentrasi di sisi hilir.

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), mengatakan daripada membebani dengan tambahan tugas di sisi hulu melalui pembentukan BUMN baru bersama PGE, PLN lebih baik fokus meningkatkan dominasi pembangunan pembangkit listrik di sisi hilir.

“Misalnya, dalam proyek 35 ribu megawatt (MW), PLN harus ditugasi pemerintah untuk membangun 25.000 MW dibanding hanya sekitar 5.000 MW pada saat ini,” kata Marwan di Jakarta, Selasa (22/11).

Menurut dia, BUMN geothermal yang besar dapat terbentuk jika pemerintah memberi lebih banyak penugasan kepada PGE untuk mengelola lapangan-lapangan geothermal yang potensial. Pemerintah, juga seharusnya menyiapkan anggaran subsidi  khusus di Anggaram Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendanai kegiatan eksplorasi lapangan geothermal bagi BUMN.

“Pemerintah pun seharusnya memberi jaminan atas pinjaman yang dilakukan BUMN untuk pengembangan PLTP,” kata Marwan.

Marwan menekankan, terkait masalah harga jual uap atau listrik yang disebutkan Menteri Rini Soemarno atau Deputi Meneg BUMN sering menjadi penghambat, mestinya pemerintah menggunakan wewenang yang dimiliki untuk menetapkan harga. Hak pemerintah tersebut dijamin oleh pasal 22 UU 21/2014, dan tidak ada opsi bagi BUMN untuk tidak mematuhi.

“Kementerian ESDM pun telah mempersiapkan Permen tentang metode sliding tariff yang tidak lagi memerlukan negosiasi harga. Sehingga negosiasi harga yang disebutkan sebagai penghambat pengembangan PLTP tidak lagi relevan menjadi alasan untuk dilakukannya merger,” ungkap Marwan.

Kementerian BUMN menyatakan penggabungan PGE ke PLN akan mempercepat pengembangan PLTP. Padahal, pengembangan panas bumi merupakan proses standar yang sulit dipercepat karena adanya merger. Malah sebaliknya, hal tersebut dapat memperlambat pengembangan karena proses birokrasi pengambilan keputusan akan lebih panjang mengingat akan adanya keterlibatan manajemen PLN.

Marwan mengkhawatirkan adanya agenda tertentu dibalik rencana pengambilalihan saham PGE, misalnya keinginan PLN untuk meningkatkan leverage guna meningkatkan kemampuan keuangan korporasi. Jika hal tersebut benar, maka prosesnya harus dilakukan secara terbuka dan berbagai persyaratan yang dibutuhkan untuk maksud tersebut atas perusahaan yang telah menerbitkan obligasi seperti Pertamina dan PLN harus dipenuhi.

Pembentukan BUMN khusus geothermal dapat pula mengarah pada langkah lebih lanjut berupa penawaran saham kepada publik (IPO) di bursa saham. Jika langkah tersebut akhirnya diambil, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa lambat laun pemilikan pemerintah di BUMN tersebut akhirnya akan menjadi minoritas, sehingga penguasaan negara atas sumber daya alam sesuai Pasal 33 UUD 1945 akan hilang.

“Tentu saja rencana penguasaan saham PGE oleh PLN tersebut harus ditolak,” tandas Marwan.(RA)