JAKARTA – Hasil kesepakatan antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat dipertanyakan. Apalagi pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

“Apakah benar kelima poin tersebut selaras dan senafas dengan keadilan sosial serta kemakmuran rakyat sesuai amanat UUD 1945? Atau sebaliknya?” kata Ahmad Redi, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute (KJ Institute) di Jakarta, Jumat (15/9).

Pemerintah dan Freeport sebelumnya menyepakati lima poin krusial terkait kebijakan pertambangan Grasberg dan Erstberg di Papua. Kelima poin itu adalah landasan hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan Freeport akan berupa IUPK, bukan berupa Kontrak Karya (KK).

Kedua, divestasi saham Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan nasional Indonesia. Hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim pemerintah dan Freeport.

Ketiga, Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada Oktober 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur.

Empat, stabilitas penerimaan negara. Penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui kontrak karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk Freeport Indonesia.

Kelima, setelah Freeport Indonesia menyepakati empat poin di atas, sebagaimana diatur dalam IUPK maka Freeport Indonesia akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2×10 tahun hingga 2041.

Menurut Redi, sesuai UU Minerba, IUPK dapat diberikan melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN), yang disetujui oleh DPR. “IUPK pun diprioritaskan diberikan kepada BUMN,” tukas dia.

Di sisi lain, pembangunan smelter yang menjadi kewajiban lama Freeport hingga saat ini belum terealisasi.

Menurut Redi, pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya kontrak karya merupakan kebijakan yang pada dasarnya merugikan Indonesia. Karena, pada dasarnya tanpa membeli saham divestasi pun pada 2021 setelah berakhirnya kontrak karya pemerintah dapat memiliki 100% wilayah eks Freeport.

“Membeli saham divestasi 51% menjelang berakhirnya kontrak karya, sama saja dengan membeli sesuatu yang sebentar lagi menjadi milik pemerintah. Sesungguhnya dalam kontrak karya perpanjangan 1991 sudah ada kewajiban divestasi saham Freeport yang harusnya pada 2011 sudah 51% dimiliki pemerintah, namun faktanya hingga detik ini kewajiban divestasi 51% tidak direalisasikan Freeport,” tandas Redi.(RA)