Bachtiar Abdul Fatah usai mengikuti persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Bachtiar Abdul Fatah usai mengikuti persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

JAKARTA – Dalam pembacaan pembelaan (pledooi) pada sidang kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2013, Bachtiar Abdul Fatah menerangkan bahwa ia menandatangani kontrak bridging bioremediasi karena tahu proyek itu taat hukum.

Dalam pembelaanya, Bachtiar kembali menegaskan proyek bioremediasi CPI telah sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) No. 128 tahun 2003. “Selain karena bagian dari tugas sebagai GM SLS PT CPI, saya menandatangani kontrak itu karena tahu proyek bioremediasi CPI taat hukum dengan mengacu pada Kepmen LH 128/2003,” ujar Bachtiar.

Terkait dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Bachtiar menyatakan dirinya menandatangani kontrak bioremediasi C905616 berdasarkan surat kuasa resmi dari Presiden Direktur PT CPI. Tempatnya berkarya sejak 1989 sebagai drilling engineer.

“Kontrak itu dibuat dan sudah dilaksanakan jauh hari sebelum saya tiba di Indonesia. Jika memang saya melakukan penyalahgunaan kewenangan di PT CPI, tentu PT CPI sudah memberikan sanksi keras kepada saya. Tetapi tidak pernah ada sanksi itu, karena yang saya lakukan memang tidak menyalahi kewenangan,” tegas alumni Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) ini.

Dari situ, Bachtiar mengaku tidak habis pikir bagaimana pihak lain dengan supremasi hukum dapat menunjuk dirinya sebagai koruptor, padahal pimpinan Chevron selalu mendukung dan menghargai pekerjaan dan prestasinya.

Seperti yang sudah diuraikan dalam sidang sebelumnya dengan agenda pemeriksaan terdakwa, dalam pledooi-nya Bachtiar kembali mengulang keterangan bahwa GM SLS tidak pernah mendapat limpahan tanggung jawab untuk pengadaan barang dan jasa. Karena pengadaan memang bukan tugas pokok GM SLS. Ia tanda tangan hanya karena adanya kuasa dari Presiden Direktur PT CPI. Herannya, dalam dakwaan ia disebut JPU menyalahi PTK 007 terkait kelalaian dalam pengadaan barang dan jasa.

Bachtiar juga kembali menegaskan, karyawan PT CPI yang berwenang untuk pengadaan berdasarkan kontrak C905616 adalah Bagawan Isawahyudi, bukan dirinya. Kontrak bridging itu sendiri dimulai pada 14 November 2011 dimana Bachtiar sudah tidak lagi terlibat karena pindah tugas ke Jakarta.

Demikian pula dengan Kontrak 7861 OK, yang menurut JPU tidak sesuai prosedur pengadaan dan merugikan negara. Selain oleh SKK Migas kontrak itu sudah dinyatakan sah sesuai prosedur pengadaan di industri hulu migas yang diatur dalam PTK 007, Bachtiar Abdul Fatah juga tidak berkaitan dengan proses pembuatan kontrak 7861 OK itu.

Tidak Sekedar Taat Aturan

Bachtiar menuturkan, dalam pelaksanaan proyek bioremediasi, PT CPI tidak sekedar taat pada peraturan. Lahirnya Kepmen LH 128/2003 sendiri terinspirasi oleh keberhasilan studi bioremediasi PT CPI yang dilakukan sejak 1990-an.

Pejabat KLH juga telah bersaksi di persidangan bahwa hasil bioremediasi PT CPI sesuai peraturan, dan tidak ada yang fiktif karena KLH selalu melakukan pengawasan. Soal izin yang tidak dimiliki PT Sumigita Jaya (SGJ) selaku sub-kontraktor, karena memang menurut Kepmen LH 128/2003 yang wajib memiliki izin adalah PT CPI sebagai penghasil limbah.

“PT SGJ adalah sub-kontraktor yang hanya melakukan pekerjaan berdasarkan perintah PT CPI sesuai work order serta mekanisme dalam kontrak C905616. Bahkan PT Yola Consultant milik Edison Effendi (saksi sekaligus ahli Kejaksaan Agung dalam kasus bioremediasi) juga tidak memiliki izin saat melakukan bioremediasi untuk perusahaan lain, karena memang hanya sebagai sub-kontraktor. Edison Effendi bahkan tidak tahu prosedur pengajuan izin dan tidak pernah mengurus izin,” papar Bachtiar.

Terkait hal ini, Bachtiar memprotes isi tuntutan JPU yang mengutip keterangan Prof. Laicha Marzuki secara tidak lengkap. Prof Laicha sendiri mengatakan, ketika perpanjangan izin sudah diajukan dan tetap ada pengawasan dari pejabat berwenang, maka izin tetap sah.

Dalam pengawasannya, lanjut Bachtiar, KLH selalu menugaskan PPLH (Petugas Pengawas Lingkungan Hidup) yang diambil sumpahnya oleh Menteri Lingkungan Hidup untuk pengawasan, termasuk untuk melakukan verifikasi PROPER (penilaian kepatuhan terhadap UU Lingkungan Hidup) dan CPI selalu memberikan laporan setiap tahunnya.

“Bagaimana pihak lain (jaksa- RED) yang tidak terlibat dapat menilai sah atau tidak sahnya keputusan yang telah ditetapkan oleh PT CPI, KLH, dan SKK Migas sekaligus,” ungkap pria yang dibersarkan Kampung Ampel Surabaya ini tak habis pikir.

Menanggapi opembelaan Bachtiar ini, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menegaskan bahwa CPI telah berkoordinasi dengan semua pihak pemerintah yang berwenang antara lain BPMIGAS (sekarang SKK Migas) dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) sejak CPI melakukan uji teknologi bioremediasi secara ilmiah baik dalam skala lab maupun lapangan sejak 1994.

Selama puluhan tahun, lanjut Dony, CPI telah menjalankan ketaatan dalam operasi migasnya sesuai kesepakatan PSC, peraturan dan hukum yang berlaku serta dalam arahan dan koordinasi dengan pihak-pihak yang berwenang seperti yang dilakukan CPI dalam proyek bioremediasi ini.

Menurut Dony selama persidangan berlangsung pun tidak ada bukti pelangaran hukum dan kerugian negara yang dilakukan oleh Bachtiar, karyawan CPI lainnya dan kontraktor CPI.

“Justru sebaliknya pihak pemerintah yang berwenang telah bersaksi di persidangan bahwa proyek bioremediasi telah sesuai peraturan termasuk soal izin dari KLH dan tidak ada kerugian negara dalam proyek bioremediasi ini seperti yang juga diputuskan dalam putusan banding Pengadilan Tinggi DKI untuk kedua kontraktor kami,” ungkap Dony di Jakarta, Jumat, 11 Oktober 2013.

“Penanganan kasus ini pun tidak sesuai dengan mekanisme yang sudah diatur dalam kontrak PSC yang merupakan landasan hukum operasi CPI di Indonesia. PSC telah jelas menetapkan tata cara penyelesaian perselisihan secara kontrak perdata terkait proyek-proyek migas termasuk proyek bioremediasi ini,” terang Dony.

“Kami berharap majelis hakim bisa mempertimbangkan semua fakta secara obyektif dan menempatkan sisi penegakan hukum yang berkeadilan dan menjamin kepastian hukum sehingga dapat mengambil keputusan yang benar dan adil bagi Bachtiar,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)