JAKARTA- Indonesia sudah lama membutuhkan kilang untuk pengolahan minyak. Saat ini Indonesia membutuhkan setidaknya 1,6 juta  barel per hari sedangkan kemampuan produksi nasional hanya 1, 1 juta barel per hari. Karena itu, merupakan langkah bagus dan strategis, jika pemerintah gencar ingin membangun kilang baru.

“Ini menjadi langkah yang bagus, meskipun terlambat. Saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kapasitas dan teknologi dari kilang minyak yang sudah ada, sambil berusaha untuk terus membangun kilang baru,” ujar Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Kurtubi di Jakarta, Selasa.

Kurtubi mengatakan ke depan Indonesia setidaknya masih membutuhkan tiga kilang baru.  Kilang-kilang baru tersebut berorientasi pada pengolahan minyak impor. Indonesia tidak lagi bisa berharap pada produksi minyak nasional yang terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Karena orientasi kilangnya untuk pengolahan minyak impor, lokasi pembangunan kita tidak perlu lagi dibangun di dekat lokasi produksi minyak.

Pembangunan kilang menurut Kurtbi akan memberi dampak positif bagi ketahanan energi nasional. Selain itu membuka lapangan kerja dan dapat meningkatkan perekonomian bagi wilayah di sekitar lokasi pembangunan kilang. Dan yang tidak kalah penting adalah pembangunan kilang ini akan meningkatkan produksi nasional serta mengurangi impor minyak. Apalagi impor minyak nasional masih banyak mafianya.

Menurut Kurtubi yang dibutuhkan dari pelaku usaha saat ini adalah konsistensi kebijakan dari pemerintah karena investasi pembangunan kilang cukup besar dan jangka panjang. Pemerintah harus memberi kepastian hukum lewat kebijakan yang konsisten. Pemerintah juga diharapkan membantu untuk penyediaan tanah. Karena selama ini, salah satu kendala yang menghambat proyek adalah soal pembebasan tanah.

“Jika pemerintah bisa menyediakan lahan maka akan mempercepat pembangunan kilang,” ujarnya.

Menteri BUMN Rini Soewarno meninjau Kilang Cilacap.

Menteri BUMN Rini Soewarno meninjau Kilang Cilacap.

Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dari Reforminer Institute mengatakan,  terhambatnya pembangunan kilang di Indonesia, terletak pada insentif fiskal yang diminta oleh investor. Pemerintah enggan memberikan intensif fiskal, karena dinilai permohonan tersebut berlebihan.  Karena itu, penting tidaknya pembangunan kilang baru, sangat tergantung pada objektivitas pemerintah. Namun yang jelas, saat ini kapasitas kilang nasional hanya 1 juta barel. Sementara konsumsinya sudah mencapai 1,6 juta barel.

“Kalau pemerintah berpikir belum urgent juga bisa, sehingga diputuskan beli (impor) BBM, tentu dengan harga yang lebih mahal,” ungkapnya.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro mengatakan untuk menjamin pasokan gas bagi masyarakat dan mengurangi impor BBM, Pertamina, mulai mengopersikan unit Residu Fluid Catalytic Cracking (RFCC) yang terletak di Refiner Unit (RU) IV Cilacap. Operasional secara komersil RFCC Cilacap mulai dilakukan pada awal Oktober 2015 lalu.

RFCC Cilacap tersebut mampu menghasilkan  30 ribu barel premium per hari. Jika dikalikan setahun 365 hari,  maka per tahun mampu memproduksi 10,5 juta barel premium.  Jumlah tersebut menurut Wainda, setara dengan  10 persen impor  nasional premium. “Itulah penghematan devisa yang dapat dilakukan dengan berkurangnya impor premium. Karena itu, kami upayakan maksimal RFCC Cilacap dapat beroperasi dengan baik,” ujar Wianda.

Dengan pembangunan RFCC Cilacap, bisa meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi dengan meningkatkan produksi BBM dan non BBM. Dari RFCC Cilacap tersebut, dapat memproduksi Gasoline RON 92 sebesar 37,5 MBSD, mengurangi impor HOMC sebanyak 600 MB per bulan, meningkatkan ketahanan stok premium menjadi 91 MBSD, meningkatkan produksi LPG dari 440 TSD menjadi 950 TSD. Selain itu bisa menghasilkan produk baru Propylene 430 TPD serta meningkatkan margin kilang dan meningkatkan NCI.

Lebih dari itu, proyek senilai Rp 11 triliun itu, bisa memberikan multiplier effect dengan membuka lapangan kerja sekitar 9 ribu orang saat proyek berlangsung dan 400 orang saat operasi komersial. Dampak lainnya adalah pajak untuk pemerintah dan juga perekonomian masyarakat sekitar akan bertumbuh.(AT)