JAKARTA – Defisit pasokan gas diperkirakan akan mulai dirasakan pada 2019. Untuk itu pemerintah diminta mempersiapkan kebijakan yang mampu merespon kebutuhan gas yang akan terus tumbuh.

Djohari Anggakusumah, Wakil Ketua Indonesia Gas Society, menyatakan konsumsi gas dipastikan akan bertambah setiap tahun dan jika tidak ada penambahan pasokan, gap antara demand dan supply akan menjadi sangat besar. Hal tersebut terjadi pada 2019 karena pasokan gas akan mulai mengalami decline, sementara produksi di lapangan baru belum dimulai.

Rata-rata konsumsi gas hingga dua tahun kedepan adalah konsumsi dalam negeri sekitar 3.000 -3.500 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) tumbuh 4 persen-5 persen dan pada 2030 kebutuhan gas diperkirakan akan mencapai 10.000 MMSCFD.

“Jadi akan ada gap 4.000-an MMSCFD, itu sekitar 32 juta ton LNG setahun. Jadi Bontang dan Tangguh digabung, itu gap kekurangannya,” kata Djohari dalam konferensi pers Indogas 2017 di Jakarta, Selasa (7/2).

Menurut Djohari, dengan kondisi tersebut mau tidak mau langkah impor menjadi rencana yang logis untuk dilakukan. Namun demikian tantangan besarnya adalah ketersediaan infrastruktur dalam pendistribusian gas nantinya setelah gas impor datang.
Pemerintah saat ini memang tengah mengkaji rencana untuk melakukan impor gas dalam bentuk LNG. Hal itu dimaksudkan selain untuk memenuhi pasokan juga untuk menekan harga gas.
Djohardi mengatakan secara logika kalkulasi diatas kertas impor memang bisa menghasilkan harga gas yang lebih kompetitif. Dia mencontohkan, gas Bontang slop 14p dikali harga minyak US$50 itu sebesar US$ 7 per MMBTU yang merupakan harga kontrak jangka panjang. Untuk harga LNG spot sebesar US$ 5 per MMBTU, di Jawa Barat US$ 9 per MMBTU dan di plant gate Jawa Timur US$ 7,6 perMMBTU.
“Jadi harga domestik dibanding spot LNG, kalau impor bisa jadi netral harga di dalam negeri tapi itu tergantung kondisi pasar juga. Karena sekarang tergantung pasokan di pasar internasional,” katanya.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengakui ketersediaan infrastruktur menjadi tantangan terbesar dalam memenuhi kebutuhan gas. Untuk itu pemerintah tidak akan tergesa-gesa dalam menerapkan kebijakan impor.
“Kalau LNG impor, infrastruktur dibangun dulu. Ada rencana kayak begitu, infrastruktur bangun dulu,” tandasnya.(RI)