JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim pembahasan regulasi pajak untuk skema kontrak blok migas gross split sudah hampir final dan hanya menyisakan dua poin utama.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan dua poin tersebut merupakan salah satu substansi utama yang diminta  kontraktor migas yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association  (IPA).

“Hanya tinggal dua poin lagi yang belum. Loss tax carry forward dan indirect tax,” kata Arcandra saat diskusi dengan media di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (13/10).

Arcandra mengatakan dalam poin loss carry forward, para kontraktor meminta perlakuan pajak yang berbeda dengan aturan pajak yang berlaku selama ini. Di kontrak baru,  pelaku usaha berharap mendapatkan fasilitas pengurangan pajak bisa lebih lama atau lebih dari lima tahun seperti yang berlaku saat ini. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan eksplorasi sampai rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) bisa membutuhkan sekitar 10 tahun,  padahal waktu yang dibutuhkan sejak PoD hingga first oil atau semburan minyak pertama bisa selama 5-7 tahun.

“Padahal ada cost lainnya yang diminta sebagai pengurang pajak,” papar dia.

Untuk indirect pajak merupakan pajak tidak langsung yang harus dibayarkan kontraktor yang masih dibahas perlakuannya.

“Kalau pajak tidak langsung seperti pajak daerah, PBB dan yang lain bagaimana treatmentnya,  PP 27 pajak selama masa eksploitasi dapat diberi insentif berdasarkan keekonomian. Di gross split kita mau memastikan itu,” ungkap Arcandra.

Kementerian ESDM selama ini mengklaim skema gross split belum bisa optimal tanpa adanya aturan khusus terkait pajak yang diberlakukan bagi kontrak-kontrak yang menggunakan skema gross split. Regulasi pajak itu juga yang diminta kontraktor migas.

Arcandra berharap beleid tersebut bisa rampung sebelum batas akhir penyerahan dokumen lelang Wilayah Kerja (WK) migas periode pertama tahun ini berakhir pada November mendatang.

“Sebelum 20 November diharapkan sudah keluar (PP),” tandas Arcandra. (RI)