JAKARTA – Tiga perusahaan konsorsium, PT Pertamina (Persero), ExxonMobil dan PTT EP, Thailand belum menemui kata sepakat terkait bagi hasil dan nilai keekonomian Blok East Natuna. Akibatnya, rencana penandatanganan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) berpotensi molor.

“Natuna ternyata ada sedikit putus. Ada masalah teknis yang tadi mereka (perusahaan konsorsium) masih bicara, tapi sangat maju,” kata Luhut Binsar Pandjaitan, Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Rabu (5/10).

Menurut Luhut, Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman untuk bisa menyelesaikan permasalahan di East Natuna. Seperti hambatan yang dialami dalam proyek East Natuna, tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Lapangan Jangkrik yang dioperatori ENI Muara Bakau B.V.
“Masalah teknis ini sama seperti masalah ENI. ENI itu dulu dibuat misalnya saat harga gas lagi tinggi. Proyek IRR-nya waktu itu bisa 13 persen sekarang tinggal 3,9 %,” ungkap dia.

Pemerintah dan konsorsium East Natuna sebelumnya membahas intensif term and condition. Hal tersebut dilakukan agar proyek gas East Natuna lebih aktraktif secara keekonomian. Apalagi salah satu tantangan berat yang juga menjadi hambatan dalam pengelolaan Blok East Natuna adalah kandungan CO2 yang ebih dari 70%.

Data Satuan Kerja Khusus (SKK Migas) menyebutkan Blok East Natuna memiliki potensi cadangan gas mencapai 46 triliun cubic feet (TCF) atau empat kali lipat dibanding cadangan Blok Masela, proyek gas terbesar saat ini, yang hanya memiliki cadangan sebesar 10,7 TCF.(RI)