JAKARTA – Draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 menyebutkan proyeksi penambahan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan sebesar 14.912 MW. Proyeksi tersebut jauh berkurang dibanding RUPTL 2017-2026 sebesar 21.560 MW. Bahkan, pada 2018, penambahan pembangkit listrik EBT diproyeksikan hanya sebesar 512 MW.

“Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi sektor energi. Perubahan ini pasti berdampak pada daya tarik bisnis dan investasi di Indonesia. Ini berarti juga semakin tidak ada kepastian berusaha di sektor EBT. Apa lagi jika benar target EBT 2018 yang hanya 500 an MW,” kata Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) kepada Dunia Energi, Kamis (1/3).

Surya Darma menambahkan, penurunan proyeksi penambahan pembangkit EBT sangat bertentangan dengan dua hal. Pertama adalah target penurunan emisi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sesuai dengan skema perjanjian Paris yang sudah diratifikasi menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016. Kedua, adalah upaya road show Presiden ke berbagai negara yang selalu dilakukan dengan target peningkatan dan percepatan investasi di sektor EBT juga tidak bermakna dan bahkan dilawan pada tataran pelaksanaan.

Seiring pertumbuhan ekonomi 2017 yang hanya 5,1%, dibawah proyeksi sebesar 5,5%, rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik dalam RUPTL 2018-2027 direvisi. Kebijakan tersebut ikut berdampak pada rencana penambahan EBT. RUPTL turun dari 78 ribu MW menjadi 56 ribu MW.

Pengurangan rencana pembangkit EBT tidak serta merta merubah target bauran energi mix 2025 yang dipatok 23%. PT PLN (Persero) optimistis target 23% masih tetap bisa direalisasikan. Namun tidak tertutup kemungkinan proyeksi pembangkit EBT kembali meningkat jika pertumbuhan permintaan listrik juga naik pada tahun-tahun mendatang.

“Ini menjadi ujian besar bagi masa depan Indonesia,” kata Surya Darma.(RA)