JAKARTA – Potensi harga gas yang tinggi dan memicu kenaikan tarif dasar listrik hingga dilakukan skenario pemangkasan penggunaan energi gas sebesar 7% untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan  Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)  dianggap tidak berdasarkan pertimbangan yang tepat.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia, mengungkapkan sesuai usulan revisi Rencana Umum Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 selain terjadi penurunan porsi energi gas, porsi batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) justru meningkat menjadi 6,5 %.

“Padahal, gas itu energi bersih. Sementara, batu bara memang lebih murah, akan tetapi efek lingkungannya jauh lebih besar,” ungkap Yusri, Senin (26/11).

Berdasarkan RUPTL 2017—2026, porsi pembangkit listrik berbahan bakar gas sebesar 24.389 MW.

 

Dia mengatakan, pada Januari 2017 PT PLN (Persero) sejatinya telah menandatangani perjanjian jual beli listrik energi gas (Power Purchase Agreement/PPA) sekitar US$5,5 sen per Kwh dengan konsorsium PT Pertamina ( Persero), Marubeni Corporation dan Sojitz Corporation Jepang untuk membangun PLTGU Jawa 1 dengan kapasitas 2 X 800 MW senilai US$2 miliar.

“Harga jual listrik PLTGU Jawa 1 cenderung paling murah dari energi lainya. Teknologinya juga paling canggih, sehingga biaya operasional bisa efisien. PLTGU Jawa 1 diperkirakan akan beroperasi komersial pada 2021,” kata Yusri.

Menurut Yusri, berdasarkan proses bisnis penggunaan energi gas di PLTGU Jawa 1 ternyata sangat efisien. Oleh karena itu, perubahan skenario pengurangan porsi gas dan meningkatkan porsi batu bara diakibatkan Kementerian ESDM tidak mampu menjamin kehandalan pasokan gas jangka panjang untuk semua PLTG dan PLTGU yang sudah beroperasi dan yang akan beroperasi.

Sementara itu, rencana PLN memangkas target kapasitas pembangkit listrik dalam RUPTL 2018 – 2027 menjadi 56.024 MW dari RUPTL 2017 – 2026 sebesar 77.873 MW dengan pertimbangan laju pertumbuhan ekonomi melambat, dinilai wajar.

Namun, di sisi lain porsi energi terbarukan seperti PLTA , PLTP dan lainya cenderung turun 2%. Sehingga, target bauran energi 25 % pada 2024 sangat diragukan untuk bisa tercapai. Masalah keekonomian dan harga jual listrik membuat investor kesulitan mendapatkan pembiayaan dari perbankan.

Sebagai informasi, berdasarkan RUPTL 2017—2026, porsi pembangkit listrik berbahan bakar gas sebesar 24.389 MW. Pemerintah memangkas porsi PLTG dan PLTGU  dalam RUPTL 2018—2027 menjadi 14.306 MW.

Porsi PLTGU sebesar 10.473 MW dan PLTG sebesar 3.833 MW. Usulan pengurangan porsi PLTG dan PLTGU akan masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019—2028 setelah disetujui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Target konsumsi listrik pada 2018 sebesar 239 TWh. Pada RUPTL 2018—2027, asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik turun signifikan menjadi 6,86% dibanding RUPTL 2017—2026 sebesar 8,3%. Atas penyesuaian tersebut pemerintah pun menggeser proyek pembangkit listrik sebesar 21.849 MW.

“Fakta tersebut berbanding terbalik dengan rilis Neraca Gas Indonesia  2018 – 2027, dimana diperkirakan dari Blok Masela gas akan diproduksi secara komersial pada 2025,” tandas Yusri.(RA)