JAKARTA –  Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menetapkan asumsi anggaran biaya operasi yang dikembalikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Banggar menetapkan cost recovery 2018 sebesar US$10 miliar atau lebih rendah dari yang diajukan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).

“Cost recovery US$10 miliar dengan harga minyak rata-rata sebesar US$ 48 dengan kurs Rp 13.400,” kata Azis Syamsuddin, Ketua Banggar dalam rapat bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (18/9).

Anggaran yang lebih rendah berpotensi menganggu upaya peningkatan produksi migas yang diamanatkan pemerintah kepada para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).  Anggaran yang ditetapkan Banggar juga lebih rendah dibanding yang sudah disepakati bersama dengan Komisi VII DPR  sebesar US$ 10,7 miliar.

Sammy Hamzah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bidang ESDM,  mengatakan untuk meningkatkan kinerja sumur-sumur produksi diperlukan dana yang tidak sedikit. Pasalnya, kondisi sumur-sumur migas di Indonesia sudah tergolong tua,  sehingga butuh penanganan ekstra jika ingin berproduksi sesuai yang diharapkan.

“Itu risikonya (menganggu ku peningkatan produksi) kalau anggaran operasi atau cost recovery dipangkas,” kata Sammy kepada Dunia Energi, Selasa.

Suahasil Nazara Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, menyatakan meskipun ada penurunan anggaran cost recovery, pemerintah tetap menargetkan adanya peningkatan penerimaan negara dari sektor migas untuk tahun depan.

Dia menuturkan pemerintah memproyeksikan PPH migas sebesar Rp 38,134 triliun sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas menjadi Rp 86,463 triliun yang terdiri dari penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) Migas Rp 80,349 triliun dan penerimaan lainnya dari minyak bumi Rp 6,113 triliun. “Total dari penerimaan dari kegiatan usaha hulu migas, di RAPBN 2018 menjadi Rp 124,597 triliun,” tandas Suahasil.(RI)