JAKARTA – Penggabungan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) ke dalam PT Pertamina (Persero) akan berdampak positif, tidak hanya bagi kedua perusahaan tetapi juga bagi pengguna gas di Tanah Air karena akan mendapatkan harga gas yang lebih murah.


Jika PGN digabungkan ke Pertamina diharapkan infrastruktur pengembangannya akan lebih baik. Selain itu, harga gas juga diharapkan bisa lebih murah,” ujar Ahmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Alam, Selasa (19/4).

Menurut Safiun, penyatuan Perusahaan Gas Negara (PGN) ke Pertamina diharapkan pembangunan infrastruktur gas bisa lebih terkoordinnasi. Daerah-daerah yang belum dibangun infrastruktur gas bisa segera dibangun. “Seperti di Jawa Tengah misalnya yang belum ada pipa,” tukasnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga 2030 pemerintah memperkirakan kebutuhan dana untuk membangun infrasturktur gas  sebesar US$24,3 miliar, yang mencakup pembangunan pipa sebesar US$1,2 miliar, gas kota US$2,2 miliar, LPG sebesar US$0,4 miliar, SPBG sebesar US$1,93 miliar, dan regasfikasi sebesar US$6,1 miliar serta liquefaction US$ 1,3 miliar.

Safiun mengatakan energi, termasuk gas merupakan kebutuhan pokok bagi industri. Pemerintah seharusnya mengarah untuk menggerakkan industri dan bukan untuk mengejar pendapatan negara. “Jika gas diberikan atau memang disalurkan ke industri, hasilnya bagus karena negara akan lebih besar disebabkan industri membayar pajak,” katanya.

Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memutuskan menjadikan Pertamina sebagai induk usaha (holding) badan usaha milik negara di sektor energi. PGN, yang 57% sahamnya dikuasai Negara, akan menjadi salah satu anak usaha holding BUMN energi tersebut.

Rini Soemarno, Menteri BUMN, sebelumnya mengatakan segala masalah menyangkut Pertamina yang menjadi induk atau holding PGN selesai sebelum Lebaran 2016. “Kajian sudah selesai dan proses sudah jalan semua. Saya juga sudah berbicara dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan PP-nya akan diajukan ke Presiden Joko Widodo,”  katanya.

Menurut Rini, pemilihan Pertamina sebagai induk usaha PGN karena perusahaan pelat merah itu dikuasai 100% sahamnya oleh negara.

Pertamina telah berinvestasi cukup signifikan dalam pembangunan pipa transmisi demi menjamin monetisasi cadangan hulu dan optimasi produksi gas nasional. Di hulu (upstream), perseroan mengoperasikan sejumlah ladang gas dengan produksi rata-rata sebesar 1.700 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Bahkan, Pertamina pada 2018 akan menjadi operator sekaligus pemegang hak partisipasi terbesar di blok gas terbesar di Indonesia, Blok Mahakam di Kalimantan Timur.

Pertamina bersama mitra dari luar negeri dan lokal juga mengoperasikan PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) yang memproduksi LNG. DSLNG tercatat mendapat pasokan gas alam dari PT Pertamina EP area Matindok, PT Pertamina Hulu Energi Tomori Sulawesi, dan perusahaan lainnya.

Sementara itu untuk midstream, Pertamina memiliki dan mengoperasikan kilang penerima LNG melalui anak usahanya, PT Nusantara Regas. Pertamina menguasai 60% saham PT Nusantara Regas dan 40% sisanya dikuasai badan usaha lainnya. Perusahaan juga mengoperasikan kilang-kilang LPG yang dioperasikan PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur.

Sementara itu, PGN menargetkan penambahan jaringan gas rumah tangga 110 ribu hingga 2019, PGN juga akan menambah panjang pipa gas lebih dari 1.680 kilometer (km). Saat ini panjang pipa PGN lebih dari 6.980 km.

PGN juga akan mengembangkan mini LNG system untuk Indonesia bagian tengah dan timur, serta memperbanyak jumlah SPBG untuk yang hingga 2019 ditargetkan menjadi 60 unit.

Ahmad Widjaja, Ketua Koordinator Gas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, mengatakan penggabungan PGN ke Pertamina sudah seharusnya dilakukan pemerintah agar distribusi gas di Tanah Air menjadi lebih efisien. “Penggabungan PGN ke Pertamina juga akan menciptakan holding BUMN energi menjadi lebih kokoh,” tandasnya.(RI/RA)