JAKARTA – Pelaku usaha pengangkutan gas atau trader melalui pipa yang tergabung dalam Indonesia Natural Gas Trader Associate (INGTA) meminta perubahan mekanisme penetapan harga gas di sektor hulu. Hal itu disebabkan pengaturan harga yang memperbolehkan kenaikan harga gas SETIAP tahun dengan mekanisme eskalasi atau pertambahan.

Sabrun Jamil, Ketua Indonesia Natural Gas Trader Associate (INGTA), mengatakan keputusan mekanisme kenaikan harga gas harus melalui pembahasan secara business to business antara produsen dan trader,  namun keputusan akhir tetap ada di tangan pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Mekanisme penetapan harga berpotensi membuat bisnis gas menjadi tidak sehat. Pasalnya, para trader belum tentu bisa menaikan harga gas setiap tahun mengikuti harga dari hulu. Apalagi ketika kondisi perekonomian sedang lesu seperti sekarang.

“Selama ini harga gas setiap tahun naik otomatis rata-rata 3% tanpa mengenal situasi dan kondisi. Kita sangat mengharapkan kebijakan ini dihentikan dulu, karena situasi ekonomi yang sangat menekan,” kata Sabrun kepada Dunia Energi, akhir pekan lalu.

Sabrun menjelaskan INGTA sudah mengirimkan surat peemintaan secara resmi kepada pemerintah guna mengkaji kebijakan tersebut. Terlebih jika melihat kondisi sekarang harga gas kompetitif sangat dibutuhkan oleh para pelaku industri.

Para trader tentu merasakan dampak besar karena dari sisi konsumen gas pasti tidak mau harga meningkat sementara mereka harus menyerap gas dengan harga tinggi.

“INGTA sedang mengirimkan surat pada mimggu ini ke pemerintah. Sebelumnya kami hanya menghimbau saja. Karena harga dipropose oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan disetujui Kementerian ESDM,” ungkap dia.

Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah terus mendorong penurunan harga gas yang dikeluhkan sangat tinggi bagi para pelaku industri.

Menurut Sabrun, selama ini yang jadi korban dorongan pemerintah hanya di level midstream. “Pemerintah mau harga murah, tapi yang dipotong margin pengusaha (pengangkutan gas) saja,” tukas dia.

Jugi Prajogio, Anggota Komite BPH Migas, mengakui mekanisme kenaikan harga gas setiap tahun dari hulu. Namun ini melalui kesepakatan antara produsen dan pihak penyerap gas.

“Harga hulu biasanya ada eskalasi sekitar 3% per tahun, jadi trader gas melakukan kesepakatan yang sama ke customernya,” kata Jugi.

Menurut Jugi, pasti sulit untuk bisa meyakinkan para konsumen gas mengikuti kenaikan harga yang dari hulu. Karena itu jika ada perubahan mekanisme tentu tetap harus melalui persetujuan menteri.

“Pihak konsumen mungkin ngotot tidak mau harga naik. Tapi kebijakan bisa berubah sepanjang Pak Menteri setuju dan tentu KKKS harus tidak keberatan,” ungkap dia.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute,  mengatakan dalam kondisi ekonomi seperti ini fleksibilitas pemerintah diharapkan. Tuntutan atau permintaan pelaku usaha trader gas cukup wajar selama itu dianggap rasional dalam dunia bisnis.

“Hal yang wajar saya kira dan lumrah dalam bisnis. Segala sesuatunya harus ada komunikasi dua arah. Intinya harus sama-sama untung atau memperoleh manfaat dari bisnis yang dilakukan,” tandas Komaidi. (RI)