JAKARTA – Pelaku usaha yang tergabung dalam Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) atau Asosiasi Penyalur Gas Alam Indonesia mempertanyakan urgensi keterlibatan kepolisian dalam masa transisi sebelum penentuan badan usaha yang akan beroperasi di Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) dan Wilayah Niaga Tertentu (WNT). Apalagi selama dalam pembahasan regulasi baru tidak pernah menyinggung keterlibatan aparat hukum. Sanksi tetap disiapkan hanya saja masih dalam taraf sanksi administratif.

“Tidak pernah dibahas sebelumnya. Kita paling diskusi soal sangsi administratif,yang ada di bawah otoritas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” kata Sabrun Jamil Ketua INGTA kepada Dunia Energi, Kamis (8/2).

Dia menambahkan sanksi administratif biasanya diterapkan dengan cara perizinan yang ditahan pemerintah sampai dengan suatu masalah diselesaikan.

Keterlibatan pihak kepolisian merupakan hal baru dan pemerintah diminta untuk menjelaskan terlebih dulu maksud dan tujuannya sebelum benar-benar diimplementasikan.

“Biasanya soal-soal perizinan. Kami tidak tahu apa yang menjadi landasan Kepala BPH Migas mengikutsertakan kepolisian dalam masalah-masalah ini,” ungkap Sabrun.

Sejak diterbitkan dan diundangkannya beleid terbaru maka BPH Migas tidak akan lagi menerbitkan izin untuk dedicated hilir. Kemudian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menetapkan WJD dalam jangka waktu 18 bulan. Selama masa evaluasi yang dilakukan oleh BPH Migas itu pelaku usaha dilarang untuk menambah konsumen gas ataupun menambah jaringan gas.

“Kami pastikan mereka tidak menambah jaringan distribusi, setiap bulan verifikasi volume gasnya jadi ketahuan, BPH Migas akan turun juga bersama tim kepolisian,” tandas Fanshurullah Asa, Kepala Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas).(RI)