JAKARTA – Pelaku usaha pertambangan menilai sudah memenuhi hak-hak normatif yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang timbul akibat  hubungan industrial yang telah disepakati pekerja dan pengusaha. Ketentuan normatif tersebut tidak kurang dari standar minimal yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2013 yang berlaku, misalnya; ketentuan perihal upah minimal propinsi (UMP), tunjangan lembur, tunjangan kesehatan dan lain-lain.
Muliawan Margadana, Ketua Bidang Mineral Energi dan Baru Bara Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) , mengatakan pada dasarnya pelaku usaha pertambangan memenuhi hak-hak karyawan melebihi hak-hak normatif yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
“Pelaku usaha pertambangan memberikan gaji di atas UMR. Jadi kalau terjadi perselisihan hubungan industrial, bukan karena tidak terpenuhinnya hak-hak normatif melainkan ada masalah kepentingan,” kata Muliawan di Jakarta, Rabu (23/8).
Irwandy Arief, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI), menekankan pentingnya menjaga kestabilan hubungan industrial karena akan berdampak pada stabilitas investasi. Di samping itu, stabilitas investasi juga dipengaruhi oleh kestabilan fiskal dan regulasi.
“Perubahan regulasi berpotensi mendorong perusahaan melakukan efisiensi, sehingga memicu ketidaksesuaian dengan karyawan. Sementara dari pelaku usaha, kalau mau memperhatikan asas-asas ketenagakerjaan, maka kasus di Freeport tidak akan terjadi,” ungkap Irwandy.
Dia juga menyampaikan pentingnya peran seluruh stakeholders dalam menemukan solusi penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Kemalsjah Siregar, Praktisi Hukum Hubungan Industrial, menjelaskan penanganan perselisihan hubungan  industrial yang terjadi di perusahaan memerlukan penanganan yang tepat dan hati-hati. Langkah utama yang  wajib dilakukan dalam penanganan timbulnya perselisihan hubungan industrial adalah melakukan klarifikasi permasalahan guna mengetahui duduk perkara yang sebenarnya untuk meminimalkan risiko ketenagakerjaan yang berlarut-larut yang merugikan,  baik perusahaan maupun karyawan yang bersangkutan.
Hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan penyelesaian adalah dengan melakukan klarifikasi terhadap alasan dan faktor penyebab terjadinya perselisihan. Langkah klarifikasi ini sangat penting dilakukan untuk menghindari dampak penyelesaian yang dapat merugikan perusahaan baik kerugian secara finansial (financial risk) maupun kerugian atas nama baik perusahaan (name risk).
Langkah tersebut di atas sangat perlu diperhatikan terutama terhadap perselisihan hubungan industrial yang berakhir dengan langkah PHK oleh perusahaan.
Dalam ketentuan pasal 153 UU Ketenagakerjaan, juga diatur bahwa setiap terjadinya perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh jenis atau kondisi tertentu, perusahaan dilarang melakukan tindakan PHK.
Sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan yang berlaku, perusahaan harus mengupayakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan jalan musyawarah dan berupaya untuk tidak melakukan tindakan PHK.
Dalam melakukan langkah PHK, perusahaan harus memperhatikan ketentuan ketentuan dan prosedur tentang PHK yang benar sesuai ketentuan, agar proses dan langkah yang dilakukan tidak menjadi batal demi hukum.
“Kasus yang di Freeport, saya tidak berani komentar. Yang jelas, mogok kerja bukan mekanisme penyelesaian hubungan industrial, harus dihindari. Ini sudah diatur dalam UU 13/2013. Tidak ada mogok kerja yang sah,” tandas Kemal.(RA)