JAKARTA – Potensi migas Indonesia sejatinya masih sangat menjanjkan dan dapat terus dikembangkan sebagai salah satu pilar untuk mendukung perekonomian Indonesia. Namun melihat masih belum stabilnya harga minyak dunia dan keterbatasan dana yang tersedia untuk melakukan eksplorasi dan investasi, investor sangat selektif untuk memilih di investasi di suatu negara.

“Kondisi itu membuat perusahaan migas saat ini sangat ketat dalam menentukan ranking untuk mengambil keputusan berinvestasi. Investasi hanya akan dikeluarkan pada proyek yang dinilai dapat memberikan tingkat pengembalian menarik dengan tingkat risiko relatif rendah,” kata Ronald Gunawan, Director Indonesian Petroleum Association (IPA) di Jakarta, Rabu (5/12).

Menurut Ronald, pada awalnya industri sempat berpikir sudah terjadi perbaikan pasca kenaikan harga minyak dunia ke US$60-75 per barrel pada periode Januari hingga September 2018. Namun kondisi berubah memasuki kuartal IV 2018, saat harga minyak dunia turun ke level US$55-60 per barrel.

“Faktor harga minyak dunia merupakan satu ketidakpastian yang harus dihadapi industri migas nasional dan industri migas pada umumnya,” ungkap dia.

IPA, kata Ronald melihat dalam dua tahun terakhir ini pemerintah telah bekerja keras dalam upaya untuk menarik investor migas menanamkan modal di Indonesia.

Apalagi pemerintah juga secara agresif menawarkan wilayah-wilayah kerja baru dan memperbaiki peraturan-peraturan terkait industri migas. Sebanyak 34 WK migas tercatat ditawarkan pemerintah dengan menggunakan skema kontrak bagi hasil gross split.

IPA juga telah mencatat beberapa hal perbaikan yang telah dilakukan, di antaranya: melakukan perbaikan terhadap skema kontrak gross split. “Adanya joint audit untuk kegiatan migas, terbitnya aturan pengecualian L/C pada ekspor migas, dan lainnya,” kata Ronald.

Dia menambahkan IPA berkomitmen akan terus mendukung upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia dan menghasilkan penemuan cadangan raksasa (giant discovery).

Namun demikian tetap ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan bersama, seperti penyederhanaan perizinan, aturan pelaksanaan PP 27/2017, perlakuan PBB yang wajar pada kegiatan migas, hingga optimalisasi fasilitas master-list untuk impor barang penunjang kegiatan migas.

“Selain itu, penyelesaian RUU Migas yang baru menjadi sangat kritikal bagi industri migas di Indonesia,” tandas Ronald.(RI)