JAKARTA – Perubahan nomenklatur PT Pertamina (Persero) yang ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah berdampak pada penghapusan direktorat gas. Penghapusan tersebut sekaligus sebagai persiapan pembentukan induk usaha (holding) BUMN migas yang akan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) atau ke dalam Pertamina. PGN nantinya disiapkan menjadi subdirektorat gas.

“Direktorat gas dihapuskan dan bisnisnya dipindahkan bertahap ke PGN demi  ‘menolong’ PGN yang sekarat di bursa saham dan butuh transfusi darah dari Pertamina,” ujar Achmad Widjaja, Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia di Jakarta, Rabu (14/2).

Achmad Widjaja, Wakil Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Industri Hulu dan Petrokimia

Bisnis gas Pertamina telah berkembang sejak 2001-2002 dengan ditingkatkan dinas pemasaran gas menjadi dibawah kendali vice president LNG. Dan sekitar 10 tahun kemudian ditingkatkan menjadi direktorat gas dan dibawah kendali langsung seorang direktur Pertamina. Namun pada 13 Februari 2018, direktorat tersebut dihapuskan.

Menurut Achmad, Pertamina yang memiliki sektor usaha dari hulu ke hilir gas justru menciptakan pasokan gas yang tidak membawa perubahan ke perbaikan. Industri yang sudah menderita karena belum mendapatkan harga gas yang sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016, kemudian harus menghadapi penghapusan direktorat gas Pertamina yang selama ini dianggap bisa lebih dipercaya.

“Industri yang menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi kedepan akan terganggu dengan kondisi PGN yang lagi kurang sehat,” kata dia.

Perpres Nomor 40 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 3 Mei 2016 berisi tentang penurunan harga gas bumi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diperintahkan menetapkan harga gas bumi dengan mempertimbangkan keekonomian lapangan, harga gas bumi di dalam negeri dan internasional, kemampuan daya beli konsumen gas bumi dalam negeri serta nilai tambah dari pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.

Menurut Achmad, pelanggan industri telah diminta PGN untuk menandatangani Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) baru mulai April 2018. Padahal kepastian harga belum ada.

“Apa yang akan terjadi di kemudian hari adalah biaya industri naik. Alhasil daya saing yang selalu diminta presiden untuk bisa kompetitif melawan pasar ekspor akan tidak pernah terwujud,” tegasnya.

Achmad menambahkan dengan kisah panjang industri gas hingga tekanan merger yang belum berwujud di PGN akan membawa dampak pada ketidakpastian di masa akan datang. Apalagi dengan kuatnya dunia global berseru ke konsep go green dan penurunan emisi.

“Gas akan hilang di perjalanan, yang ada solar industri akan terus masuk jadwal impor yang akan menjadi beban belaka. Kapan lagi kita bisa maju dikala inkonsisten pemerintah di dalam kebijakan perseroan BUMN sendiri selalu terjadi,” ungkap dia.

Tantangan bisnis Pertamina ke depan akan semakin kompleks dengan kebutuhan energi nasional yang terus meningkat, namun tidak dibarengi dengan niat ketersediaan dan membangun infrastruktur.

“Dari tahun ke tahun Pertamina cuma bisa gonta ganti kepemimpinan, tidak fokus keeksekusi kebijakan yang in line dengan pemerintah pusat,” tandasnya.

Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan, Industri strategis dan Media Kementerian BUMN, sebelumnya mengatakan dalam struktur terbaru manajemen Pertamina, pemerintah telah menghapus direktorat gas karena nantinya urusan tentang bisnis gas Pertamina akan ditangani subholding gas melalui penggabungan PGN dan PT Pertamina Gas (Pertagas).

“Makanya gas hilang, nanti akan ditangani subholding gas. Yang penting perubahan paradigma ini, meningkatkan dan memperbaiki pelayanan Pertamina kepada konsumen, kepada pengguna dan costumer,” kata dia. (RI/DR/ALF)