JAKARTA  –  Serikat Pekerja Kondur Petroleum (SPKP) menolak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan pesangon yang dicicil oleh perusahaan Bakrie Group, EMP Malacca Straits SA (EMPMS SA).

PHK dengan sasaran lebih dari 100 pekerja Jakarta dan lapangan yang dikemas dalam program Mutual Agreement Termination (MAT) dengan nama Rightsizing merupakan program yang melanggar peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku seperti kesepakatan dalam perundingan Bipartit yang masih berlangsung, Perjanjian Kerja Bersama 2012 – 2014, Pedoman Tata Kerja 018 – BP Migas dan Undang Undang Ketenagakerjaan.

Di saat perundingan Bipartit masih berlangsung, persetujuan/ijin tertulis SKK Migas belum didapatkan, perusahaan telah melakukan tindakan yang meresahkan dan menimbulkan kekawatiran pekerja akan perlindungan kerja dan hak-hak normatif pekerja. Penentuan tanggal efektif MAT dan cicilan atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang ditentukan sepihak oleh perusahaan sangat memberatkan para pekerja dalam menghadapi masa pasca PHK yang tentunya memerlukan biaya yang cukup besar untuk memulai usaha dan kebutuhan primer pekerja. Ini menjadi faktor utama kekuatan gelombang penolakan pekerja dalam menyikapi niat perusahaan.

Berdasar peraturan perundangan-undangan yang berlaku serta pertimbangan keberatan para pekerja, maka SPKP menolak keras PHK dengan sasaran lebih dari 100 pekerja yang lebih tepatnya merupakan PHK massal. Hak-hak normatif pekerja dalam Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 100% ditanggung negara melalui mekanisme cost recovery.

“Perusahaan belum berusaha secara maksimal dalam meningkatkan produksi atas potensi minyak dan gas bumi yang ada, begitu juga dalam  upaya guna menghindari terjadinya PHK massal, seperti dijelaskan secara detail dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-907/MEN/PHI/X/2004 tentang Pencegahan PHK massal dan dalam pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011,” kata Heru Widodo, Ketua Umum SPKP.

Untuk itu, diharapkan pihak-pihak terkait sebagai wakil dari pemerintah, berada di barisan depan memberikan bantuan penyelesaian dan perlindungan hak-hak normatif pekerja.

Dia mengatakan  tingkat produksi pada 1.500 – 2.000 bopd dari potensi 3.500 – 4.000 bopd sejak Oktober 2016 telah mengakibatkan kurangnya penerimaan negara jutaan dollar AS. Sementara permasalahan intercompany loan dengan mitra bisnis dalam jutaan dollar AS yang belum terselesaikan, pembayaran pesangon puluhan milyar rupiah pada 2011, dan pencadangan pesangon yang tidak dilakukan kembali oleh perusahaan sejak 2012 serta penundaan beberapa pembayaran hak normatif pekerja merupakan pertanyaan SPKP pada wakil perusahaan yang belum dijawab sampai saat ini.

Menurut Heru, selain pelanggaran atas ketentuan peraturan  perundangan-undangan yang berlaku, perusahaan juga melakukan pemotongan hak cuti secara sepihak dengan perhitungan PHK per 29 September 2017, permintaan persetujuan Exit Clearance, surat pencatatan pengajuan Klaim Jaminan Hari Tua (JHT), tidak adanya jadwal kembali ke lapangan bagi beberapa pekerja yang terkena program Rightsizing.

“EMPMS SA yang merupakan business unit EMP pada Bakrie Group dengan visi menjadi perusahaan publik yang memimpin dalam sektor minyak dan gas bumi di Indonesia  sangatlah tidak layak dan patut melakukan tindakan seperti tersebut di atas terlebih menimbulkan keresahan pekerja yang telah ikut membesarkan perusahaan dan juga menjaga ketahanan migas Indonesia,” tegas Heru.

Agar terjadi harmoni antara pekerja dan perusahaan, Heru meminta agar pekerja, Serikat Pekerja dan perusahaan melakukan Hubungan Industrial dengan berpedoman dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ini diperlukan untuk menciptakan suasana kondusif dalam ikut menciptakan ketahanan migas nasional.

Selain itu, diperlukan campur tangan wakil-wakil pemerintah, seperti Kepala SKK Migas, Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral serta Kepala OJK, Pimpinan KPK, Kepala BPJS Ketenagakerjaan di tengah-tengah SPKP dan perusahaan. “Hal ini untuk memberikan bantuan penyelesaian dan perlindungan kepada semua pihak sesuai perraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ini bahkan bakal menepis kekuatiran pekerja.  Untuk membantu perusahaan, beberapa pekerja secara sukarela telah mengajukan Pensiun Dini, MAT dengan pembayaran lunas atas hak-haknya sebelum PHK seharusnya bisa ditindak lanjuti terlebih dahulu sebelum pelaksanaan program Rightsizing yang bermasalah saat ini,” katanya.

Menyikapi timbulnya kekuatiran yang terjadi, SPKP telah melakukan tambahan wawasan kepada pekerja dengan mengadakan acara diskusi dengan topik: “Pembekalan Hukum Dalam Pengambilan Keputusan Pada Pelaksanaan Rightsizing EMP Malacca Straits SA” di Jakarta belum lama ini. Pada kesempatan itu, SPKP menghadirkan Juanda Pangaribuan SH, MH seorang Lawyer/Advokat, Legal Consultant dan  Sugeng Barkah selaku Wakil Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Minyak Dan Gas Bumi Indonesia (KSPMI), keduanya sebagai nara sumber. Dengan tambahan wawasan ini diharapkan anggota SPKP dapat lebih mengerti akan hak dan kewajiban masing-masing dalam hubungan industrial di EMPMS SA.(LH)