JAKARTA – Minimnya perlindungan hukum dan terbukanya peluang terkena kriminalisasi, dikhawatirkan bakal mendorong pekerja sektor minyak dan gas bumi (migas) makin banyak yang hengkang pindah kerja ke luar negeri.

Kakhawatiran itu diungkapkan Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan (IATMI) Salis S Aprilian. Ia menceritakan, dalam beberapa tahun belakangan ini banyak rekan-rekannya sesama engineer (sarjana teknik) perminyakan yang berkompetensi tinggi, dibajak oleh perusahaan-perusahaan minyak asing.

Mereka pindah kerja ke Amerika, Eropa, dan paling banyak saat ini ke Timur Tengah, juga ke negara tetangga Malaysia. Kebanyakan alasan mereka adalah mengejar penghasilan dan penghargaan terhadap profesi ahli perminyakan, yang jauh lebih baik di negeri orang.

Namun kini ia khawatir, ke depan semakin banyak para ahli perminyakan asal Indonesia yang lari ke luar negeri, menyusul kasus pemidanaan terhadap sejumlah karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, dalam kasus bioremediasi.

Menurutnya, dari para anggota IATMI juga sudah muncul keluhan, pemidanaan terhadap para karyawan Chevron tersebut, menunjukkan rendahnya perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja migas di Indonesia. Sedangkan di luar negeri, mereka mendapat penghargaan dan perlindungan hukum yang jauh lebih baik, ketimbang di negeri sendiri.

“Saya tidak ingin mengatakan pekerja migas tidak bisa dipidana. Namun saya perlu ingatkan, mereka bekerja secara tim. Maka dalam konteks industri hulu migas, mestinya proses hukum yang mereka jalani juga secara tim, bukan individual,” tegas Salis dalam Focuss Group Discussion “Hukum Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial di Sektor Migas” di Jakarta, Rabu, 14 November 2012.

Praktisi hukum ketenagakerjaan, Darmanto mengakui, selain membutuhkan teknologi tinggi dan investasi besar, sektor migas memerlukan para pekerja yang mau dan mampu menjalankan tugasnya secara teknis maupun administrasi, dengan kedisiplinan yang tinggi.

Ini mengingat banyak sekali alat-alat canggih yang dipakai, prosedur dan peraturan-peraturan yang harus diikuti dan ditaati. Bergelut dengan teknologi di lapangan migas maupun dokumen-dokumen administrasi di kantor, menjadi santapan harian para pekerja sektor migas.

Ditengah situasi kerja yang rumit seperti itu, kata Darmanto, mestinya para pekerja migas mendapat perlindungan hukum yang memadai. Jika ada persoalan hukum terkait dengan pengambilan keputusan di lapangan, maka berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menghadapi tuntutan hukum mestinya pimpinan tertinggi di perusahaan migas yang bersangkutan.

“Herannya, dalam kasus bioremediasi Chevron, yang dijadikan tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Agung adalah mereka yang berada di posisi Manager dan Team Leader,” tukasnya.

Salis menambahkan, sumber daya manusia merupakan aset yang sangat penting bagi kelangsungan industri migas. Tanpa pembinaan dan perlindungan yang baik, para pekerja di sektor migas akan kesulitan menunjukkan kinerja optimalnya, khususnya dalam upaya peningkatan produksi.

Sementara itu, Ketua Komite Tetap Hulu Migas KADIN Indonesia, Firlie Ganinduto menilai, sektor hulu migas merupakan salah satu yang paling ketat dalam penerapan good governance (perilaku yang baik dalam bisnis, red) dibandingkan industri lainnya.

Maklum, industri migas selain padat teknologi, juga padat modal. Sehingga berbagai pengeluaran yang terjadi dalam kegiatan operasi, selalu diawasi dengan ketat baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak-pihak lain yang terkait. “Jadi sebenarnya kecil kemungkinan pekerja sektor hulu migas melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum,” tukasnya.

Perkembangan terakhir, empat karyawan Chevron yang dijadikan tersangka dalam dugaan korupsi proyek bioremediasi oleh Kejaksaan Agung, mengajukan praperadilan. Mereka adalah Manajer Lingkungan Sumatera Light North/SLN dan Sumatera Light South/SLS, Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Duri Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh, dan Manager SLS Operation, Bachtiar Abdul Fatah.

Melalui kuasa hukum mereka, Todung Mulya Lubis, mereka mengajukan juga gugatan kerugian materiil dan immateriil sebesar Rp 4,2 miliar terhadap Kejaksaan Agung, atas penahanan yang dianggap tidak sah. Selain dibelenggu kebebasannya, mereka juga merasa dipermalukan akibat penahanan itu.

Todung juga menyesalkan penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan, padahal penghitungan kerugian negara atas dugaan korupsi yang dituduhkan belum jelas angkanya. Kejaksaan Agung juga belum menentukan siapa yang diuntungkan akibat kerugian negara yang dituduhkan. Sehingga tampak tuduhan jaksa atas dugaan korupsi pada kasus bioremediasi Chevron sangat kabur.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)