International Energy Agency (IEA) menuturkan pasokan minyak dari negara-negara di luar anggota OPEC tampaknya akan berkurang, terparah sejak dua dekat terakhir, pada tahun depan, setelah harga minyak terus merosot. Berdasarkan market report bulanan yang diluncurkan organisasi itu, produksi minyak dari negara Non-OPEC sudah seperti Amerika Serikat dan Rusia diprediksi turun hingga 0,5 juta barrel per hari (bph).

Harga minyak menyentuh harga terendah dalam enam tahun pada akhir bulan lalu. Kondisi ini terjadi di tengah kekhawatiran adanya kelebihan pasokan dan outlook perekonomian dunia yang suram seiring dengan pelambatan perekonomian di China. Harga minyak Bren diperdangkan pada harga $48,36 per barrel pada awal perdagangan di Eropa, Jumat pekan lalu. Angka ini turun 25% sepanjang tahun ini, atau hampir separo dari harga tahun lalu. Adapun harga minyak mentah AS terkoreksi 1,4% ke angka US$45,26 per barrel, atau merosot sekitar 23% sejak awal tahun ini.

“Kabar terbesar bulan ini adalah ketatnya pasokan dari negara-negara Non-OPEC,” tutur IEA.
IEA mencatat harga minyak yang jatuh menyebabkan produksi mulai dari Eagle Ford hingga Rusia dan Laut Utara yang berbiaya mahal terhenti. Akibatnya, sekitar setengah juta barrel produksi minyak akan hilang akibat penutupan tersebut.

Menurut IEA, produksi minyak AS setelah melonjak dan mencapai rekor sebesar 1,7 juta barrel per hari pada 2014 tampaknya bakal terhenti. “Penurunan tajam sedang terjadi, menyebabkan produksi hanya sekitar satu juta barrel per hari mulai 2015 hingga setengahnya pada Juli,” tutur IEA.

Di sisi lain, murahnya harga minyak akan mendorong permintaan komoditas tersebut. IEA memprediksikan permintaan diharapkan mencapai 1,7 juta barrel per hari pada tahun ini, atau mencapai tertinggi dalam lima tahun. Permintaan seterusnya diprediksi berkurang hingga 1,4 juta barrel per hari pada 2016.

“Kendaraan-kendaraan bermotor di AS terus memenuhi jalanan, mendorong permintaan domestik mencapai tertinggi dalam delapan tahun,” kata IEA. Diharapkan pula perekonomian China yang merupakan pelahap migas terbesar kedua dunia, tetap membeli minyak meskipun pasar keuangan mereka melemah, terjadinya devaluasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi.(LH)