JAKARTA – Produksi nikel Indonesia hanya berkontribusi tujuh persen dalam menyuplai kebutuhan nikel dunia. Pemasok utama nikel saat ini adalah Filipina, lebih dari 22%, disusul Rusia dan Kanada, masing-masing sekitar 11%. Sementara Australia dan New Caledonia masing-masing sekitar 9%. Data United States Geological Survey pada awal 2017 menyebutkan cadangan nikel Infonesia hanya enam persen dari total cadangan nikel dunia.

“Realisasi ekspor bijih nikel kadar rendah dari Indonesia untuk periode Januari hingga Juni 2017 hanya 403.201 ton. Jadi tidak tepat kalau dikatakan harga nikel dunia terkontrol oleh ekspor terbatas nikel kadar rendah dari Indonesia,” ujar Sujatmiko, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (24/7)

Pemerintah, kata Sujatmiko, menerapkan aturan serta kontrol yang ketat atas rekomendasi dan realisasi ekspor bijih nikel kadar rendah. Ekspor hanya bisa dilakukan jika perusahaan telah benar-benar terbukti memiliki kemampuan secara teknologi, bahan baku, keuangan dan sumber daya manusia.

“Pemerintah mengontrol rekomendasi dan realisasi ekspor (bijih nikel kadar rendah) dengan syarat yang ketat. Semua syarat harus proven (terbukti),” kata dia.

Menurut Sujatmiko, aturan yang ada saat ini berbeda dengan sebelumnya, yaitu dengan adanya verifikator independen, dengan kemampuan yang lengkap. Ada ahli metalurgi, civil engineering dan tekno ekonomi, sehingga semua resiko dapat dikendalikan. Hasil ekspor tersebut semata-mata untuk memperkuat kemampuan (finansial) guna penyelesaian pembangunan smelter di dalam negeri.

Penurunan harga jual dan meningkatnya biaya produksi saat ini memicu kerugian smelter nikel. Melemahnya permintaan nikel pada industri stainless steel pada kuartal kedua 2017 ditengarai menjadi penyebab utama turunnya harga nikel dunia. Di saat yang bersamaan, harga coking coal (kokas) meningkat dari US$100 per ton pada Desember 2016 menjadi US$200 per ton pada Mei 2017.

Selain itu, masih adanya surplus produksi dari 2016 yang tidak diikuti dengan peningkatan permintaan di pasar dan meningkatnya pasokan nikel dari Filipina, menjadi faktor utama tren rendahnya harga nikel dunia saat ini. Apalagi dengan peningkatan harga kokas yang signifikan (dua kali lipat) dalam lima bulan terakhir menyebabkan keekonomian smelter nikel (terutama yang berbasis blast furnace) mengalami tekanan.

Kokas diketahui menjadi sebagai salah satu komponen utama pada struktur biaya dalam proses pengolahan dan pemurnian nikel dengan teknologi blast furnace, diperkirakan mencapai 40% dari total biaya produksi.

Sujatmiko menegaskan semangat penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara adalah dalam rangka mendorong dan mempercepat pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam di dalam negeri.

“Pemerintah terus berupaya mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri agar memberikan manfaat yang optimal bagi negara serta memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi Mineral dan KK,” tandas Sujatmiko.(RA)