JAKARTA – Pemanggilan kembali karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka dalam kasus bioremediasi oleh Kejaksaan Agung, dinilai sama dengan menelikung putusan pengadilan.

Bachtiar sendiri sebelumnya sempat ditahan Kejaksaan Agung selama 63 hari bersama tiga tersangka lainnya yang juga karyawan Chevron, dalam kasus dugaan korupsi proyek biremediasi (pemulihan tanah tercemar limbah minyak).

Namun Bachtiar kemudian dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari tahanan Kejaksaan Agung, berdasarkan Putusan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nomor: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012.

Putusan Majelis Hakim Praperadilan yang dipimpin Hakim Suko Harsono menyebutkan, Bachtiar dibebaskan dan penetapannya sebagai tersangka dianggap tidak sah. Terhadap putusan ini, Kejaksaan Agung sempat menyatakan banding, tetapi ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena tidak ada dasar hukumnya.

Sayangnya, pada Jumat, 18 Januari  2013, Bachtiar dipanggil lagi oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, M. Adi Toegarisman. Surat Penggilan Tersangka Nomor: SPT – 151/F.2/FD.1/01/2013, tanggal 16 Januari 2013 itu menyebutkan, pemanggilan kembali Bachtiar dalam rangka penyerahan tersangka dan barang bukti ke tahap penuntutan.

Demi membaca surat pemanggilan kembali itu, Kuasa Hukum Bachtiar, Maqdir Ismail dan Leonard Arpan Aritonang, menyampaikan keberatan. Mereka menilai pemanggilan dan penetapan kembali Bachtiar sebagai tersangka tidak sah, karena berdasarkan Putusan Praperadilan Bachtiar sudah dianggap tidak kaitan dengan perkara bioremediasi.

“Penetapan kembali Bachtiar sebagai tersangka tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, sesuai  Putusan Perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012, sehingga tidak bisa dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti,” tegas Maqdir kepada Dunia Energi, Senin, 21 Januari 2013.

Dikatakan oleh Maqdir Ismail, Putusan Praperadilan harus dimaknai bahwa penetapan tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum. Putusan Praperadilan itu pun telah berkekuatan hukum tetap. “Putusan praperadilan itu tidak bisa diabaikan, tetapi harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk oleh Kejaksaan Agung,” tandasnya.

Ia menambahkan, sebagai eksekutor putusan pengadilan, sepatutnya penyidik Kejaksaan Agung menghentikan perkara Bachtiar Abdul Fatah. Menetapkan kembali Bachtiar sebagai tersangka dalam kasus bioremediasi, sama saja dengan Kejaksaan Agung menelikung pengadilan yang memproses dan memutus praperadilan.

“Putusan praperadilan ini tidak boleh ditelikung dengan meminta fatwa atau meminta pendapat kepada Mahkamah Agung melalui surat biasa. Putusan praperadilan ini hanya bisa dibatalkan dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi dan melalui proses peradilan, tidak bisa dengan penetapan,” tambah Maqdir lagi.

Sebagai penegak hukum yang baik, kata Maqdir lagi, mestinya Penyidik Kejaksaan Agung mau secara suka rela dan besar hati, menghormati putusan praperadilan dengan cara melakukan eksekusi, yaitu mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara, sesuai dengan putusan praperadilan bahwa penetapan tersangka dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum.

“Penyidik sebagai pejabat publik yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menetapkan tersangka dan menghentikan satu perakara, harus secara elegan dan terhormat melaksanakan putusan praperadilan mengentikan penyidikan,” tukasnya.

Masih menurut Maqdir, putusan praperadilan yang visioner tersebut, mestinya dijadikan modal oleh penyidik untuk memperbaiki praktik penyidikan, dengan cara melakukan penyidikan untuk mencari tersangka dan bukti yang cukup, baru kemudian melakukan penyidikan.

“Tidak seperti yang terjadi sekarang, penyidikan dilakuan secara terbalik. Tersangkanya ditetapkan dulu, baru kemudian dicari bukti,”, pungkasnya seraya mengatakan, praktik yang dilakukan penyidik dalam kasus bioremediasi sangat bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)