JAKARTA – Pertumbuhan permintaan listrik, ketergantungan impor bahan bakar fosil, dan masalah polusi udara serta lingkungan menjadi faktor pendorong peningkatan energi baru terbarukan di kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia.

“Pengembangan energi baru dan terbarukan tentu bisa dipercepat dengan paket-paket kebijakan yang komprehensif,” ujar Heymi Bahar, Renewable Energy Markets Analyst International Energy Agency pada Pertamina Energy Forum 2016 di Jakarta, Rabu (14/12).

Dia menambahkan, sinergi antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pihak-pihak terkait juga diperlukan untuk mendorong pengembangan tersebut.

Dadan Kusdiana, Sekretaris Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan Kementerian ESDM mendorong pengembangan energi baru terbarukan yang dilakukan PT Pertamina (Persero) dan menekan tiga harapan terhadap perusahaan pelat merah tersebut.

Pertama, sebagai off-taker produk energi baru dan terbarukan, salah satunya yang sudah berjalan, yakni biodiesel
dan selanjutnya bioetanol, dan sebagainya. Kedua, menjadi pengembang energi baru terbarukan di bidang panas bumi.
“Kami juga berharap Pertamina dapat menjadi contoh yang baik untuk badan usaha lain dalam hal pengembangan energi baru dan terbarukan,” kata Dadan.

Yenni Andayani, Direktur Gas dan EBT Pertamina, menegaskan Pertamina siap berinvestasi di bisnis hulu energi baru dan terbarukan.
“Belanja modal yang diperlukan, di luar panas bumi, diperkirakan mencapai sekitar US$ 1,5 miliar hingga 2019,” tandas Yenny.(RA)