JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi yang akan menjadi perusahaan induk (holding) badan usaha milik  negara di sektor minyak dan gas bumi, diusulkan menjadi regulator, pengawas dan operator kegiatan usaha hulu migas di Tanah Air  Revisi Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menggantikan peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kewenangan perumusan kebijakan dan strategi tetap berada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Revisi UU Migas sangat mendesak untuk segera mengubah kelembagaan SKK Migas yang lebih sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Fahmy Radi, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada saat berbicara pada sebuah diskusi di Jakarta, Senin (21/11).

Suasana di lobi kantor SKK Migas, lantai 35 Wisma Mulia, Jl Gatot Subroto kav. 42, Jakarta.

Menurut Fahmy, ada dua opsi yang bisa dipertimbangkan dalam merevisi fungsi kelembagaan SKK Migas. Opsi pertama, SKK Migas dijadikan sebagai BUMN Khusus dalam skema ‘tiga kaki’. Opsi kedua adalah menyerahkan fungsi dan kewenangan SKK Migas ke Pertamina dengan skema ‘dua kaki’.

“Dari dua skema ini, opsi ‘dua kaki’ paling menarik  dan memiliki sejumlah kelebihan,” katanya.

Beberapa kelebihan opsi ‘dua kaki’ tersebut adalah skema Kementerian ESDM sebagai perumus kebijakan dan strategi serta Pertamina sebagai regulator, kontrol, dan operator. Pertama, Pertamina menjadi tulang punggung (backbone) negara dalam mengembang funsgi pengelolaan sumber daya migas.

Kedua, Pertamina  pengembang utama privilese yang diberikan pemerintah di sisi hulu (upstream). Ketiga, Pertamina memiliki kapitalisasi aset besar yang memberikan leverage di pasar internasional.

“Kelebihan lain dari opsi ‘dua kaki’ ini adalah Pertamina memiliki keleluasan dalam manajemen portfolio upstream,” ujarnya.

Fahmy  mengungkapkan, bila tujuannya untuk memperkuat posisi Pertamina, BUMN yang 100 persen sahamnya dikuasai negara, sebagai representasi negara dalam pemanfaatan sumber daya migas bagi sebesarnya kemakmuran rakyat, opsi ‘dua kaki’ adalah pilihan tepat dibandingkan  opsi ‘tiga kaki. Namun, kelemahan opsi ‘dua kaki’ adalah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam menjalankan ketiga fungsi kewenangan.

“Untuk  mengurangi adanya konflik kepentingan dalam menjalankan  ketiga fungsi itu, revisi UU Migas juga harus mengatur adanya pemisahan. Kewenangan regulator dan kontrol dilaksanakan oleh Pertmaina sebagai holding migas, sedangkan fungsi operator dijalankan oleh anak perusahaan holding migas,” katanya.

Fahmy menegaskan, revisi UU Migas harus memperkuat posisi Pertamina sebagai national oil company (NOC) yang merupakan representasi negara dalam penguasaan dan pengusahaan lahan migas. Untuk itu, revisi UU Migas juga harus memberikan privilese kepada Pertamina. Privilese ini meliputi pemberian hak utama dalam penawaran lahan migas yang baru (new block offered), hak utama untuk mengakuisisi partisipasi interest (existing contract), dan hak utama untuk mengelola lahan yang kontraknya sudah berakhir (expiring contract).

“Saya yakin pemberian privilese akan mendorong Pertamina menjadi besar. Ada monetisasi sumber-sumber  migas sehingga memudahkan Pertamina mencari dana karena asetnya juga  besar,” katanya.

Hingga akhir 2015, Pertamina tercatat memiliki total aset US$ 45,52 miliar dengan total kewajiban sebeasr US$ 26,04 miliar.  Hingga akhir September 2016, perusahaan membukukan laba bersih sebesar US$ 2,83 miliar ditopang efisiensi pada semua lini bisnis. Perolehan net profit Pertamina tersebut sejajar dengan perusahaan  migas multinasional lainnya seperti ExxonMobil, bahkan di  atas  Royal Dutch Shell dan Petronas.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia,   mengatakan percepatan pembahasan Revisi UU Migas bukan hanya karena putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal UU Migas terdahulu, tapi terkait berbagai persoalan  yang menuntut solusi yang sistemik, seperti ancaman  nyata krisis energi pada 2025. Saat itu, Indonesia diprediksikan membutuhkan 7,496 juta barel setara minyak per hari dengan 47% sumber energi dari migas dan konsumsi energi 1,4 ton setara minyak per hari.

“Di sisi lain, fakta hari ini menunjukkan bahwa produksi minyak hanya 250 ribu barel per hari dengan 86 persen total produksi minyak nasional berasal dari lapangan migas tua dan cadangan saat ini tidak mampu memenuhi kebutuhan,” katanya.

PWYP Indonesia menurut Maryati tidak mempersoalkan opsi atau skema mana pun yang  akhirnya digunakan, apakah opsi ‘dua kaki’ atau opsi ‘tiga kaki’.  PWYP Indonesia lebih fokus pada proses  tata kelola itu dilakukan oleh  institusi melalui mekanisme good corporate governance (GCG), transparansi, dan akuntabilitas serta.

“Ada beberapa isu kunci yang harus masuk dalam pembahasan RUU Migas, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan yang memungkinkan proses check and balances, badan pengawas, BUMN pengelola, petroleum fund, dan domestic market obligation, dana cadangan, cost recovery, participating interest, dan perlindungan atas dampak kegiatan migas serta reformasi sistem informasi dan partisipasi,” katanya.

Andang Bachtiar, Anggota Dewan Energi Nasional, mengakui tata kelola kelembagaan migas perlu direformasi. Tanpa ada reformasi, penurunan produksi migas tidak akan bisa diatasi. Dia berharap pemerintah dan DPR lebih serius dalam memperhatikan penetapan kebijakan dan aturan yang khusus terkait kegiatan eksplorasi migas.

Dia menilai hal ini penting agar negara dapat menjamin ketahanan energi nasional yang berkelanjutan. Apalagi, dalam tiga hingga empat tahun ke depan BUMN  Migas juga harus siap untuk melanjutkan pengelolaan sekitar 20 kontrak migas yang akan berakhir.

“Kita harus waspada dengan  konsumsi energi kita yang terus   bertambah. Saat ini 45  persen minyak kita impor. Tahun 2020, impor gas mulai meningkat dan akan terus naik pada tahun-tahun berikutnya,” kata dia.(RA)