Penggunaan kapal nasional dalam operasi hulu migas.

Penggunaan kapal nasional dalam operasi hulu migas.

BANDUNG –Jumlah kapal penunjang operasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) saat ini mencapai 672 unit. Dari jumlah tersebut, hanya 20 kapal atau 3% saja yang masih berbendera asing. Sebagian besar atau 97% sudah menggunakan kapal berbendera Indonesia.

Data terbaru ini diungkapkan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini pada Rabu, 22 Mei 2013. “Fakta ini menunjukkan keberpihakan industri hulu migas pada perkapalan nasional,” ujarnya saat pembukaan Konvensi Nasional Penunjang Operasi Migas di Bandung.

Rudi menjelaskan, beberapa usaha dilakukan oleh SKK Migas bersama kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) migas, untuk menjalankan “azas cabotage” atau kewajiban menggunakan kapal berbendera nasional dalam aktivitas di perairan Indonesia.

Usaha yang dilakukan, diantaranya memasukkan klausul kewajiban berbendera Indonesia, dalam setiap proses pengadaan kapal. Juga dengan mengoptimalkan sharing capacity (pembagian kapasitas, red) dalam penggunaan fasilitas penunjang operasi, serta melibatkan galangan kapal nasional dalam setiap proyek pembangunan kapal baru oleh KKKS.

Meski demikian, kata Rudi, ada beberapa tantangan untuk dapat sepenuhnya menggunakan kapal nasional dalam operasi hulu migas. Antara lain masih sulitnya diperoleh kapal seismik, pengeboran, dan penggelaran pipa, yang berbendera Indonesia.

Untuk kapal pengeboran, berdasarkan data SKK Migas, baru terdapat tiga unit kapal berbendera Indonesia. Padahal, kebutuhan kapal pengeboran sampai dengan 2015 sekitar 64 kapal. Kondisi ini menunjukkan suplai kapal pengeboran berbendera Indonesia masih sangat jauh dari kebutuhan operasional hulu migas.

Di sisi lain, Kementerian Perhubungan hanya mengizinkan penggunaan kapal berbendera asing dalam aktivitas pengeboran, sampai akhir 2015. “Merujuk rencana kegiatan pengeboran yang akan meningkat di masa mendatang, SKK Migas melihat perlu adanya terobosan agar dapat memenuhi ketentuan azas cabotage yang telah ditetapkan,” katanya.

Maka dari itu, lanjut Rudi, sektor hulu migas sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, dalam menjalankan asas cabotage ini. Terutama dukungan dari kementerian terkait dan para pengusaha kapal nasional.

Perlu dicarikan solusi bagaimana cara terbaik untuk menjembatani, antara kebutuhan operasi hulu migas dan pemenuhan kewajiban penerapan asas cabotage. Jika penerapan asas cabotage dilaksanakan tanpa kompromi, niscaya pencapaian produksi migas dan kegiatan hulu migas akan mengalami banyak hambatan.

“Kami sangat mendukung asas cabotage dan peningkatan kapasitas nasional di bidang perkapalan, dengan catatan tetap memperhatikan kondisi aktual di lapangan,” kata Rudi.

Empat Kesepahaman dan Kesepakatan

Dalam konvensi nasional penunjang operasi hulu migas tersebut, juga dilakukan penandatanganan tiga Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dan satu kesepakatan, antara SKK Migas dan empat instansi terkait.

Pertama MoU antara Bidang Operasi SKK Migas dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut mengenai dukungan perizinan terkait kegiatan usaha hulu migas. Kedua, MoU antara Bidang Operasi SKK Migas dan Direktorat Perhubungan Udara, tentang penyelenggaraan pengawasan keamanan dan keselamatan penerbangan di Sektor Hulu Migas Indonesia.

Ketiga, MoU antara SKK Migas dan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika terkait pemasangan fasilitas pemantau cuaca (weather forecast) di wilayah operasi KKKS migas.

Lalu yang keempat, kesepakatan antara SKK Migas dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) mengenai kerjasama pengelolaan TENORM (technologically enhanced naturally occurring radioactive materials) yang dihasilkan industri hulu migas.

“Langkah ini wujud konkrit kolaborasi SKK Migas dengan berbagai pihak. Tujuan akhir, mencapai target produksi migas yang telah ditetapkan,” kata Deputi Pengendaian Operasi SKK Migas, Muliawan.

(Abdul Hamid / duniaenergi@yahoo.co.id)