JAKARTA – Blok Offshore North West Java (ONWJ) dan Blok West Madura Offshore (WMO) dinilai menjadi salah satu contoh keberhasilan PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, dalam kegiatan produksi minyak dan gas di lepas pantai, termasuk di laut dalam. Sepanjang tahun lalu produksi minyak dan gas dari kedua blok tersebut memenuhi target yang ditetapkan oleh pemerintah.

“Pengelolaan Blok ONWJ dan Blok WMO menunjukkan Pertamina memiliki kemampuan yang kompetitif dengan perusahaan-perusahaan migas lainnya,” ujar Komaidi Notonegoro, pengamat migas dari ReforMiner Institute.

Menurut Komaidi, Pertamina juga memiliki kemampuan dalam pengelolaan ladang migas di laut dalam seperti Blok Nunukan yang berlokasi di laut dalam di Kalimantan Utara. Hasil produksi Blok Nunukan terdiri tas gas sebesar 60 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan minyak 1.800 barel per hari (BOPD).

“Proyek ini sangat strategis karena Pertamina mengelola proyek migas di laut dalam,” katanya.

Dia menjelaskan tidak seluruh blok yang diambil alih Pertamina sesukses seperti ONWJ. Ada wilayah-wilayah migas lainnya tertentu yang mengalami penurunan produksi seiring penurunan kemampuan alamiah.

“Untuk itu Pertamina juga harus selektif terhadap blok yang habis kontraknya. Kalau masih menarik secara bisnis dan memiliki kemampuan yang cukup bisa diambil. tapi kalau secara ekonomi tidak cukup menguntungkan juga tidak perlu dipaksakan masuk,” kata dia.

Pada 2015, Blok ONWJ yang dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), membukukan produksi minyak sebesar 40 ribu barel per hari (BOPD). Sedangkan produksi gas PHE ONWJ tahun 2015 mencapai 178 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) melampaui target WP&B 2015 sebesar 175 MMSCFD.

Tahun ini, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menetapkan target produksi PHE ONWJ sebesar 37.300 BOPD dan 163 MMSCFD. Hingga Mei 2016, PHE ONWJ membukukan catatan produksi sebesar 37.112 BOPD dan 172,5 MMSCFD.

Kegiatan operasi hulu migas.

Sementara itu, SKK Migas menargetkan produksi dari Blok WMO yang dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (WMO) sebesar 9.300 BOPD untuk minyak dan sebesar 102,6 MMSCFD gas bumi. Sampai Mei 2016 tercatat produksi minyak mencapai 10.411 BOPD atau 111,9 persen dari WP&B Revisi 2016 dan produksi gas sebesar 105,735 MMSCFD atau 103 persen dari target WP&B Revisi 2016.

Blok ONWJ memasok gas bagi PT PLN (Persero) sekitar 100-120 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) ke PLTGU Muara Karang dan Tanjung Priok dan dari gas itu PLN memproduksi daya sekitar 450 megawatt (MW).

ONWJ juga memasok gas sebagai bahan baku pembuatan pupuk untuk Pupuk Kujang, Cikampek Jabar, pasokan gas untuk Refinery Unit VI Balongan, Indramayu serta pasokan untuk bahan bakar gas yang dibutuhkan untuk konversi BBM ke bahan bakar gas.

Pencapaian produksi PHE ONWJ dan PHE WMO merupakan hasil positif yang didapat melalui realisasi berbagai rencana kerja seperti pemboran, work over/kerja ulang, wellservice/perawatan sumur migas dan pengembangan lapangan serta perbaikan dan perawatan fasilitas produksi.

Taslim Z Yunus, Kepala Divisi Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), sebelumnya menyatakan besarnya risiko dalam pengelolaan laut dalam menjadi alasan bagi SKK Migas untuk tidak banyak menyerahkan pengelolaan blok-blok yang tingkat kesulitannya tinggi kepada Pertamina. Selain itu, perusahaan-perusahaan migas raksasa asing punya keahlian yang mumpuni.

Namun, menurut Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, secara umum seluruh blok yang dikelola Pertamina yang berasal dari operator sebelumnya mempunyai kinerja yang lebih baik.

“Untuk CPP (Central Processing Plant), itu hanya satu dari sekian banyak blok dan pengelolaannya pun tidak pure oleh Pertamina, tetapi secara bersama dengan BUMD setempat,” tandas Syamsu.

Fahmi Radhi, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan Blok WMO dan ONWJ  meningkat produksinya setelah diambil Pertamina. Sebagai BUMN migas yang 100% sahamnya dikuasai negara, tambah Fahmi, Pertamina harus diberikan privilege untuk mengelola lahan migas yang kontrak sudah berakhir.

Pertamina, lanjut Fahmi, merupakan representasi negara dalam pengelolaan sumber daya migas, seperti diamanatkan pasal 33 UUD 1945. Akibat kebijakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang sangat liberal menyebabkan Pertamina selalu kalah bidding dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) kontraktor asing sehingga Pertamina tidak diberi kesempatan untuk mengelola lahan migas di negeri sendiri.

“Mestinya semua komponen bangsa harus mendukung Pertamina untuk mengelola lahan migas di negeri sendiri, bukan malah menjadi komparador asing,” tandas dia.(RI/RA)