JAKARTA – Rencana sekuritisasi aset PT PLN (Persero) bakal berjalan mulus menyusul persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sekuritisasi aset PLN berupa future cash flow untuk mendukung pendanaan infrastruktur.

Sekuritisasi aset tidak memerlukan aturan khusus. PLN bisa menggunakan peraturan OJK yang sudah ada untuk melaksanakan aksi korporasinya.

“Sekuritisasi aset PLN bisa diakomodir peraturan yang sudah ada. Future cash flow bisa dilihat dari pendapatan historis, nanti berapa persen yang mereka sekuritisasi,” kata Nurhaida, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Selasa (13/6).

Sekuritisasi berupa future cash flow sedikit berbeda dengan sekuritisasi aset pada umumnya karena tidak ada aset yang harus dikeluarkan dari pembukuan perseroan.

PLN sebelumnya menunggu hasil legal review OJK terhadap rencana sekuritisasi aset anak-anak usahanya. PLN berencana melakukan sekuritisasi aset future cashflow dari anak usahanya, PT Indonesia Power, senilai Rp 10 triliun.

PLN akan menggunakan dana hasil sekuritisasi untuk membangun infrastruktur kelistrikan di Indonesia dan mendukung program ketenagalistrikan 35 ribu megawatt (MW).

Pembangunan infratruktur ketenagalistrikan di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan membutuhkan dukungan dana yang cukup besar, yakni mencapai Rp 1.000 triliun. Dana ini tidak hanya berasal dari PLN tapi juga dari pihak lain.

PLN mencari alternatif pendanaan lainnya karena terkendala Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Perbankan dan sumber-sumber pendanaan nasional. Salah satu alternatif pendanaan tersebut adalah dengan mentransformasi aset finansial menjadi efek yang disekuritisasi. Sekuritisasi aset atau Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA).

PLN sebelumnya sudah memperoleh pendanaan melalui beberapa model, seperti obligasi, pinjaman bank, penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA), pinjaman dengan export credit agency (ECA), dan listrik swasta.

Rencana sekuritisasi atau EBA yang dilakukan PLN dengan cara menkonversi pendapatan di masa depan menjadi surat berharga untuk mendapatkan cash di awal. Yang dijadikan dasar sekuritisasi adalah future cash flow dari pendapatan Indonesia Power, anak usaha PLN di bidang pembangkitan listrik.

Aset yang disekuritisasi merupakan aset keuangan, yaitu piutang penjualan listrik yang dihasilkan oleh salah satu pembangkit PT Indonesia Power, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya. PLTU ini memiliki kapasitas 3.400 megawatt (MW) dan berkontribusi sekitar 12% pada sistem Jawa Bali. PLTU Suralaya adalah PLTU terbesar di Indonesia, dan merupakan aset yang sangat bagus dan terawat.

Masa manfaat PLTU Suralaya masih 20 tahun lagi dan memiliki performance operasi yang luar biasa.

Diperkirakan, revenue stream PLN per tahun sekitar Rp 300 triliun. Hal ini akan menjadi jaminan/quarantee dari kontrak investasi, yang sebagiannya berasal dari prepaid dari pelanggan sebesar 12%.

Dalam satu tahun, penerimaan transaksi listrik PLTU Suralaya sebesar Rp 12 triliun yang terbagi atas beberapa komponen, yaitu Pengembalian Investasi; Pemeliharaan; Bahan Bakar; dan Pelumas, Kimia, Air, dan lain sebagainya.

Komponen Pengembalian Investasi inilah yang menjadi pengembalian dari pinjaman dari KIK-EBA ini. Dalam kontrak PPA ini, nantinya akan mendapatkan Rp 2,5 triliun pertahun dari hasil penjualan sebesar Rp 12 triliun tersebut.

Tidak ada aset tetap PLN yang dijual dalam sekuritisasi aset. Aset pembangkit masih menjadi milik Indonesia Power dan tetap dicatat di buku konsolidasi PLN sebagai induk perusahaan, dengan kata lain tidak terjadi perpindahan aset tetap.

Demikian juga dengan kepemilikan saham, dengan sekuritisasi aset ini tidak ada pengalihan saham ataupun privatisasi. Pemerintah tetap sebagai pemilik saham PLN 100%. Dan PLN pun tetap sebagai pemilik saham Indonesia Power.(RA)