JAKARTA – Pemerintah diminta tidak gegabah dalam penerapan skema gross split untuk kontrak pengelolaan minyak dan gas (migas). Dengan skema terbaru itu harus dipastikan negara tetap memegang kendali serta posisi tidak boleh sejajar dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Rofi Munawar, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengungkapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya dan Mineral (ESDM) bisa mengkaji skema ini secara komprehensif dan serius, agar ditemukan solusi terbaik sehingga tidak ada lagi resistensi atau perdebatan yang terjadi seperti sekarang.

“Perlu memastikan bahwa sistem apapun yang diterapkan, negara harus hadir sebagai pemegang kekuasaan kekayaan alam Indonesia. Negara tidak boleh ditempatkan sejajar dengan kontraktor dan proses eksploitasi migas tetap memperhatikan aspek kedaulatan energi,” kata Rofi di kepada Dunia Energi.

Menurut Rofi, pada dasarnya skema gross split bisa menjadi langkah positif dalam memudahkan administrasi aktivitas pengelolaan sumber daya alam (SDA) minyak dan gas yang selama ini dikenal dengan kerumitannya. Apalagi penerapan skema PSC cost recovery selama ini juga terus menguras keuangan negara. Bahkan memiliki potensi besar menyebabkan kerugian.

Skema gross split harus tetap memastikan penerimaan dari bagi hasil dengan kontraktor tetap lebih besar. Karena ujungnya juga akan berpengarih dengan kondisi keuangan negara.
“Harus dipastikan keuangan negara tidak terganggu karena telah terjadi perubahan sistem. Jangan sampai skema gross split ini diterapkan hanya untuk semata-mata menutupi shortfall pajak dan kerumitan sistem cost recovery,” ungkap Rofi.

Bahkan jika perlu pemerintah bisa melakukan simulasi penerapan gross split ke salah satu lapangan yang ada, sehingga bisa langsung dilakukan evaluasi.

“Pemerintah melakukan penelitian terhadap biaya riil produksi migas. Serta melakukan simulasi yang akurat terhadap besaran pendapatan negara,” katanya.

Tunggal, Direktur Pembinaan Hulu Ditjen Migas Kementerian ESDM, menyatakan skema gross split yang tengah disusun diproyeksikan akan mampu memberi keuntungan kepada negara namun tetap membuat kontraktor merasa mendapatkan perlakuan yang adil.

Menurut dia, yang menjadi tantangan sekarang ini adalah menentukan besaran base split serta insentif dari pemerintah kepada kontraktor, karena penerapan pmeberian insentif akan berbeda disetiap lapangan tergantung tingkat kesulitan dan berbagai variabel lainnya.

“Gross split ini bagaimana bisa menguntungkan investor tapi negara juga dapat, jadi fair. Kemudian setiap lapangan beda-beda, sama saja cost recovery setiap lapangan kan beda-beda, diterjemahkan ke gross split,” tandas Tunggal.(RI)