BOGOR – Untuk mendukung industri penunjang dalam kegiatan operasi migas, pemerintah mengusulkan agar industri penunjang migas menjadi bagian dari revisi UU Migas. Tujuannya agar kedudukannya makin jelas.

Pemerintah meminta masukan dari stakeholder terkait hal ini. Sesditjen Migas Susyanto dalam Seminar nasional APBMI di Bogor, akhir pekan lalu, mengatakan, sebelumnya terkait industri penunjang migas telah diatur dalam  Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2008 tentang Kegiatan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi, namun kedudukannya perlu diperkuat lagi dalam bab khusus di revisi UU Migas. Dia mencontohkan, dalam UU kelistrikan dan UU Minerba, industri penunjang migas diatur dalam bab tersendiri.

“Sebetulnya kami sudah memasukkan (industri penunjang)  di satu bab tersendiri.  Nanti babnya apakah tetap masih perusahaan penunjang atau kita namakan kapasitas nasional. di mana ini akan lebih jelas kedudukan hukum dan sebagainya,” jelas Susyanto.

Dia mengharapkan agar badan usaha bergerak dalam bidang industri penunjang migas, ikut mendorong agar usulan ini dapat diterima oleh DPR.

Susyanto menambahkan untuk mendukung industri penunjang migas,  Pemerintah menyusun Buku APDN yang diperbarui setiap tahun.  Buku APDN merupakan katalog penyedia barang dan jasa penunjang migas di Indonesia yang juga menjadi acuan dalam merancang desain maupun spesifikasi proyek dalam kegiatan hulu migas. Selain itu, menjadi acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan procurement dalam kegiatan hulu migas serta acuan pengendalian impor barang. Buku APDN 2015 terdiri dari 477 perusahaan  jasa, 125 produsen barang yang mencakup 1.189 jenis produk.

Sesuai dengan Permen ESDM nomor 15 tahun 2013, tujuan penggunaan produk dalam negeri pada kegiatan usaha hulu migas adalah menimbulkan multiplier effect untuk perekonomian negera, mengembangkan inovasi dan teknologi dalam negeri, memproduksi barang dan jasa secara efektif dan efisien serta meningkatkan penggunaan produk dalam negeri secara akuntabel.

Sejumlah masalah masih membelit industri penunjang migas di Indonesia, di antaranya h sebagian besar bahan baku masih harus diimpor. Akibatnya,  proses pengadaannya seringkali dikendalikan oleh eksportir bahan baku di luar negeri yang juga merupakan produsen barang yang sama dengan barang yang diproduksi di dalam negeri. Hal ini menjadi ancaman serius pada industri dalam negeri akibat lonjakan impor produksi terjadi antara lain pada industri Casing Tubing, Pipa Salur, dan sebagainya.

Kedua,  sampai saat ini struktur penunjang migas belum cukup sehingga daya saing produk penunjang Migas relatif rendah. Kemudian, ketersediaan energi masih kurang terutama gas untuk keperluan proses produksi seperti heat treatment dan selain itu harga gas juga masih mahal. Masalah lainnya adalah kebijakan China yang memberikan insentif dan subsidi yang besar kepada pelaku industrinya yang berorientasi ekspor sehingga membuat harga produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor asal China.

Terakhir, terjadinya transhipment barang jadi asal China tujuan ekspor yang transit di Batam untuk mendapatkan Certificate of Origin oleh pelaku usaha di Batam sehingga mengganggu kegiatan ekspor bagi industri yang benarbenar melakukan produksi di Indonesia.

Jumlah perusahaan industri penunjang migas dalam negeri yang telah beroperasi dalam kegiatan operasi Migas nasional mencapai 2.883 perusahaan. Rinciannya  749 perusahaan jasa pemboran, inspeksi dan transportasi, 2.000 perusahaan jasa konsultan kegiatan operasi Migas serta 134 perusahaan yang memproduksi barang dan peralatan penunjang Migas seperti Wellhead, Christmastree, Chemical Pemboran, Pipa Salur, Rig, Platform, OCTGN, Pumping Unit, Valve, Ketel Uap, dan peralatan lainnya.(LH)