JAKARTA – Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional hingga  2040-2050 masih cukup besar dan menjadi potensi besar bagi proyek-proyek kilang PT Pertamina (Persero). Namun kunci utama dalam pengembangan kilang, baik melalui proyek revitalisasi kilang eksisting maupun pembangunan kilang baru bukan di Pertamina, namun justru pemerintah.

“Ketidaksiapan pembangunan kilang bukan di Pertamina, tapi justru pemerintah. Pada 2020-2023 utang Pertamina akan jatuh tempo. Di sisi lain, Pertamina dibebani investasi membangun kilang,” kata Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institue di Jakarta.

Menurut Komaidi, pasar kendaraan bermotor masih sangat potensial. Apalagi hingga 2040-2050, kendaraan bermotor masih akan berbasis fuel. Di sisi lain, mobil listrik belum menyampai 0,01%. Masalahnya, proyek pengembangan kilang Pertamina justru dibebani kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada 2018-2019, misalnya, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk tidak menaikkan tarif listrik dan BBM.

“Jika tidak direvisi (kebijakan tarif listrik dan harga BBM), proyek pembangunan kilang akan bermasalah,” kata Komaidi.

Komaidi Notoneegoro didampingi Ali Ahmudi Ahyak saat memberi pandangan soal kilang  (foto: Tatan Agus/DE)

Ali Ahmudi Achyak, pengamat energi dari Universitas Indonesia, mengatakan berbeda dengan proyek MRT, proyek jalan tol sumetera, dan kereta cepat, proyek kilang tidak populis. Padahal proyek kilang juga masuk sebagai proyek strategis nasional.  “Pemerintah ke depan, kalau dianggap sebagai objek vital nasional, proyek kilang  juga harusnya bisa,” katanya.

Menurut Ali, keuntungan dari kilang, kalau hanya mengandalkan BBM memang kecil, namun risikonya tinggi. Dengan dmeikian jika kilang itu hanya untuk BBM, pembangunan kilang seharusnya menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Integrasi kilang dengan petrochemical sangat memungkinkan. Efisiensi bisa didapatkan dari. Di China hampir semua kilang baru terintegrasi dengan petrokimia,” jelas dia.

Ali mengatakan tidak hanya integrasi kilang minyak dengan petrokimia, integrasi yang lebih luas juga bisa dilakukan dengan pembangkit listrik hingga terminal gas.

“Kilang butuh energi, butuh BBM dan listrik.  Kilang butuh listrik, ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Tapi kebutuhan primernya, mau BBM atau gas. Kalau diintegrasikan kilang ada pembangkit. Bahan bakar diambil dari, BBM kita ambil untuk pembangkit. Listriknya bisa digunakan. Kalau itu ditarik bisa lebih efisien,” katanya.

Achamd Widjaja, Wakil Ketua Komisi Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia, mengatakan saat ini semua orang pesimistis dengan proyek kilang, apalagi pelaku usaha. Proyek kilang lebih banyak ditujukan untuk konsumen pengguna BBM, tanpa memperhatikan sektor industri.

“Hari ini kita hidup dari industri. Kangan bahas kilang Pertamina tanpa integrasi dengan petrokimia. Membangun kilang tanpa integrasi dengan petrokimia hanya buat buang-buang devisa,” katanya.

Menurut dia, investasi kilang minyak bukan keputusan komersial atau keputusan Pertamina semata, tapi keputusan politik. Posisi Pertamina sama seperti industri, hanya eksekutor.  “Itulah kenapa kilang TPPI yang telah dikuasai Pertamina, tetap tidak jalan hingga saat ini,” katanya.

Namun, Harya Adityawarman, Direktur Pembinaan Hilir Migas Ditjen Migas, Kementerian ESDM, menilai pembangunan kilang Pertamina sudah ada kemajuan, khususnya kilang Balikpapan. Kebijakan Energi Nasional (KEN) terutama menyangkut ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional disampaikan bahwa ada gap crude dengan impor BBM.
“Alangkah bagusnya kalau kedepan crude tidak bisa cukupi, tapi bahan bakar bisa diolah di dalam negeri. Untuk penggunaan sumber daya energi, tidak kalah penting perlu ada cadangan energi nasional,” kata dia.

Kapasitas kilang di Indonesia saat ini sebesar 1,1 juta barel per hari, tapi hanya bisa memproduksi 800 ribu–900 ribu barel per hari. Untuk itu, digagas proyek revitalisasi melalui refinery development master plan (RDMP) kilang Pertamina dan pembangunan kilang baru di Tuban, Jawa Timur dan Bontang, Kalimantan Timur.

“Bontang rencananya 300 ribu per hari, Tuban juga sama. Cilacap dari 348 ribu ke 370 ribu bph. Balikpapan 260 ribu menjadi 360 ribu dan Dumai menjadi 300 ribu bph,” kata dia.

Dengan pengembangan dan pembangunan kilang dari sisi kapasitas meningkat dua kali. Nanti langsung Euro V dari saat ini Euro I. Kekompleksan (complexity) kilang juga naik dari 5 ke 9. Produk yang dihasilkan juga bisa bervariasi. Crude flexibility juga meningkat jadi 2% tadinya hanya 0,4%.

“Balikpapan paling siap, dari sisi lahan, dll. Mungkin nanti dari sisi pendanaan yang perlu segera diselesaikan dan penunjukan EPC Mudah-mudahan nanti groundbreaking bisa dan nanti dalam waktu dekat pembangunan bisa dilakukan,” ungkap Harya.

Proyek kilang masuk di proyek strategis nasional. Artinya apapun itu dipermudah pemerintah karena ini mengamatai semua instansi, baik pusat daerah mendukung pembangunan kilang. Selain itu, menurut Harya, pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No 35 Tahun 2018 itu terkait dengan pengurangan untuk pajak.

“Jadi di situ ada kilang apalagi dengan investasi besar itu sampai 20 tahun free tax holiday,” katanya.

Menurut Harya, proyek kilang merupakan kebutuhan bersama, sehingga harus segera di realisasikan. Kalau satu sudah jalan pasti lainnya gampang. “Memang untuk Tuban lahan masalah, tapi tidak semua seperti itu. Kalau Balikpapan tidak ada masalah karena hanya pengembangan. Kalau Tuban kan baru,” katanya.(RI/RA/AP/AT)