Museum Geologi merupakan salah satu lokasi yang populer dikunjungi siswa sekolah saat mereka berkunjung ke Kota Bandung. Cukup beralasan untuk datang ke sana karena gedung ini merupakan salah satu saksi sejarah perjalanan Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM) dalam lingkup perjuangan bangsa Indonesia.

“Kepada adik-adik kita, generasi muda, ini (Museum Geologi) adalah suatu saksi sejarah kedaulatan pertambangan dan energi kita dipertahankan oleh seorang pahlawan bernama Arie Frederick Lasut. Berkat kegigihan beliau, data-data mengenai pertambangan bisa dipertahankan dan kemudian dapat dikembangkan lebih jauh hingga sampai saat seperti sekarang ini,” tutur Menteri ESDM Sudirman said pada acara Night at the Museum, di Museum Geologi, Bandung, Sabtu (26/9) malam.

Kegiatan Night at the Museum merupakan bagian dari rangkaian Hari Jadi Pertambangan dan Energi ke-70 yang akan jatuh pada 28 September 2015 mendatang. Pengunjung yang hadir malam ini juga diajak untuk menyaksikan kilas balik sejarah pertambangan dan energi Indonesia melalui film “Sang Perintis”. Film ini menceritakan sejarah tokoh pejuang geologi dan pertambangan Indonesia, yaitu Arie Frederick Lasut dan Soenoe Soemosoesastro. Keduanya bersama-sama dan bahu-membahu berjuang menyelamatkan kedaulatan negara melalui geologi dan pertambangan selama masa perjuangan kemerdekaan.

Museum Geologi didirikan pada 16 Mei 1928. Museum ini telah direnovasi dengan dana bantuan dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Setelah mengalami renovasi, Museum Geologi dibuka kembali dan diresmikan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada 23 Agustus 2000. Dalam museum ini, tersimpan dan dikelola materi-materi geologi yang berlimpah seperti fosil, batuan, mineral. Semua materi tersebut dikumpulkan selama kerja lapangan di Indonesia sejak 1850.

Eksistensi Museum Geologi berkaitan erat dengan sejarah penyelidikan geologi dan tambang di wilayah Nusantara yang dimulai sejak pertengahan abad ke-17 oleh para pakar dari Eropa. Setelah Eropa mengalami revolusi industri pada pertengahan abad ke-18, benua tersebut sangat membutuhkan bahan tambang sebagai bahan dasar industri. Pemerintah Belanda sadar akan pentingnya penguasaan bahan galian di wilayah Nusantara sehingga pada 1850 dibentuklah Dienst van het Mijnwezen. Kelembagaan ini berganti nama jadi Dienst van den Mijnbouw pada 1922, yang bertugas melakukan penyelidikan geologi serta sumberdaya mineral.

Hasil penyelidikan yang berupa contoh-contoh batuan, mineral, fosil, laporan dan peta memerlukan tempat untuk penganalisaan dan penyimpanan. Akhirnya, pada 1928 Dienst van den Mijnbouw membangun gedung di Rembrandt Straat Bandung. Gedung tersebut pada awalnya bernama Geologisch Laboratorium yang kemudian juga disebut Geologisch Museum. Gedung dirancang dengan gaya Art Deco oleh arsitek Ir. Menalda van Schouwenburg dibangun selama 11 bulan dengan 300 pekerja serta menghabiskan dana sebesar 400 gulden. Pembangunannya dimulai pada pertengahan 1928 dan diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929 bertepatan dengan penyelenggaraan Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik ke-4 (Fourth Pacific Science Congress).

Keberadaan Dienst van den Mijnbouw berakhir berakhir seiring dengan kekalahan pasukan Belanda dari pasukan Jepang pada Perang Dunia II. Dengan masuknya tentara Jepang ke Indonesia, Gedung Geologisch Laboratorium berpindah kepengurusannya dan diberi nama Kogyo Zimusho dan setahun kemudian diganti menjadi Chishitsu Chosacho. Namun, tidak banyak dokumen hasil penelitian pada masa pendudukan Jepang yang seumur jagung ini.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pengelolaan Museum Geologi berada di bawah Pusat Djawatan Tambang dan Geologi (PDTG/1945-1950). Pada 19 September 1945, pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat dan Inggris yang diboncengi Netherlands Indiës Civil Administration (NICA) tiba di Indonesia. Mereka mendarat di Tanjung Priok, Jakarta. Di Bandung, mereka berusaha menguasai kembali kantor PDTG yang sudah dikuasai oleh Indonesia. Tekanan yang dilancarkan oleh pasukan Belanda memaksa kantor PDTG dipindahkan ke Jalan Braga Bandung, pada 12 Desember 1945. Setelah kantor di Rembrandt Straat ditinggalkan pegawai PDTG, pasukan Belanda mendirikan lagi kantor yang bernama Geologische Dienst ditempat yang sama.

Selama empat tahun pada masa revolusi, kantor PDTG terlunta-lunta berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Pemerintah Indonesia yang berusaha menyelamatkan dokumen-dokumen hasil penelitian geologi menyebabkan dokumen-dokumen tersebut harus berpindah tempat dari Bandung, ke Tasikmalaya, Solo, Magelang, Yogyakarta. Pada 1950 dokumen-dokumen tersebut dapat dikembalikan ke Bandung. Dalam usaha penyelamatan dokumen-dokumen tersebut, pada 7 Mei 1949, Kepala Pusat Jawatan Tambang dan Geologi, Arie Frederic Lasut, diculik dan dibunuh tentara Belanda. Ia gugur sebagai pahlawan bangsa di Desa Pakem, Yogyakarta.

Sekembalinya ke Bandung, Museum Geologi mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Hal ini terbukti pada tahun 1960, Museum Geologi dikunjungi oleh Presiden Soekarno. Pengelolaan Museum Geologi yang semula berada dibawah PDTG, berganti nama menjadi: Djawatan Pertambangan Republik Indonesia (1950-1952), Djawatan Geologi (1952-1956), Pusat Djawatan Geologi (1956-1957), Djawatan Geologi (1957-1963), Direktorat Geologi (1963-1978), Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (1978 – 2005), Pusat Survei Geologi (sejak akhir tahun 2005 hingga sekarang).

Jika ke Bandung, ayo sempatkanlah mengunjungi museum yang sarat dengan sejarah ini! (DD/berbagai sumber)