Tambang batubara

Kegiatan tambang batubara di Kalimantan.

JAKARTA – PT Indominco Mandiri membuat terobososan baru dalam kegiatan operasionalnya. Mulai Desember 2012, perusahaan tambang di Kalimantan ini akan menggunakan Liquefied Natural Gas (LNG) sebagai bahan bakar truk-truk batubaranya.

Penggunaan LNG pada operasi pertambangan Indominco ini, merupakan keberhasilan pertama PT Pertamina Gas dan PT Badak NGL dalam menggarap potensi pasar LNG untuk transportasi, khususnya untuk sektor pertambangan di Kalimantan. Indominco telah menjadi salah satu perusahaan besar tambang batubara yang menjadi end user LNG Pertamina.

Pada tahap commissioning yang ditargetkan mulai 1 Desember 2012, sebanyak 4 inpit dump truck Indominco akan memanfaatkan LNG sebagai bahan bakarnya, dengan perkiraan kebutuhan LNG sekitar 60 MMbtud. Ketika diimplementasikan secara penuh, terdapat sekitar 84 high dump truck Indominco yang akan menggunakan LNG sebagai bahan bakar dengan kebutuhan LNG sekitar 3,97 BBtud.

Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan mengungkapkan, potensi pemanfaatan LNG untuk sektor pertambangan batubara di Kalimantan diperkirakan mencapai sekitar 0,62 juta ton per tahun. Hal itu dengan asumsi tingkat konsumsi solar non subsidi dari empat perusahaan besar tambang batubara yang beroperasi di wilayah itu, mencapai 1,62 juta Kiloliter per tahun.

Dalam skala nasional, kata Karen, potensi pasar solar di dalam negeri tahun 2012 sekitar 16,3 juta Kiloliter dan sebagiannya diperoleh melalui impor. Apabila dikonversi ke gas sebanyak 20% saja, akan dapat menghemat devisa sebesar minimal USD 1,43 miliar per tahun.

Selain untuk sektor transportasi, LNG bisa diaplikasikan sebagai alternatif pengganti LPG di rumah tangga (household). Di berbagai belahan dunia, gas alam sudah lazim digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor rumah tangga karena lebih menjamin keamanan dan kebersihan emisi yang dihasilkan dibandingkan LPG.

“LNG juga lebih murah dibandingkan harga LPG yang harganya sekitar USD 22 per MMbtu. Untuk nilai energi yang sama, volume LNG yang diperlukan lebih rendah 14% dibandingkan dengan LPG,” tutur Karen lagi.

Untuk merealisasikannya, lanjut Karen, memang membutuhkan sejumlah infrastruktur pendukung yang harus dipersiapkan. Pengembangan LNG station di sejumlah wilayah Indonesia akan tergantung pada sejumlah proyek Pertamina yang lain, seperti FSRU dan Mini LNG.

Maka dari itu, pembangunan FSRU sangat dibutuhkan untuk menjamin suplai LNG di daerah yang sudah besar pasarnya namun kekurangan suplai gas. Misalnya di Jawa Barat, atau daerah yang tidak memiliki sumber gas, seperti Jawa Tengah. Selain itu, Mini LNG Plant dibutuhkan untuk memenuhi permintaan LNG pada daerah-daerah dekat sumber gas skala kecil.