JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) DR Mudzakkir, SH MH berpendapat, sebaiknya Kejaksaan Agung (Kejakgung) menghentikan penuntutan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, karena bukti-bukti yang dimiliki tidak cukup kuat.

Berbicara dalam diskusi  “Mekanisme Production Sharing Contract (PSC); Proteksi Kepentingan Pemerintah dan Investor” di Jakarta, Kamis, 13 Desember 2012, Mudzakkir menjelaskan, ada empat hal yang menjadi pertimbangan, dirinya menyarankan Kejaksaan Agung menghentikan perkara itu.

Pertama, kasus bioremediasi Chevron itu tidak tepat jika terlalu dini disebut kasus pidana korupsi. Pasalnya, sumber dugaan pelanggaran yang dijadikan dasar tuduhan korupsi, adalah perbuatan dalam konteks pelaksanaan PSC minyak dan gas bumi (migas) yang sebenarnya masih dalam lingkup hukum administrasi atau perdata.

Menurutnya, ada empat tingkat pelanggaran hukum administrasi atau perdata bisa masuk ke ranah pidana. Pertama, melanggar namun mempunyai itikad baik. Kedua, melanggar dengan tidak ada itikad baik. Ketiga, melanggar dengan itikad buruk. Dan keempat, melanggar dengan itikad buruk yang kriminal.

“Satu sampai tiga, masih masuk ranah administrasi atau perdata. Keempat yang baru bisa dipidana,” terangnya.

Problem utamanya, kata Mudzakkir, ialah penafsiran dari pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang menyebutkan “korupsi adalah perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara”. Kata “dapat” dalam pasal itu, menurutnya memang sangat bias.

Artinya, meski baru berpotensi merugikan keuangan negara pun sudah dapat dituding sebagai kasus korupsi. “Sejak awal saya tidak setuju dengan redaksional pasal ini, karena dapat menimbulkan kerancuan. Sedikit-sedikit penegak hukum bisa mengkategorikan sebuah pelanggaran sebagai korupsi, dan ternyata benar terjadi,” ungkapnya.

Pertimbangan kedua, lanjutnya, kasus bioremediasi Chevron itu timbul dari hubungan keperdataan, yakni kontrak migas.  Dalam kontrak antara pemerintah dan investor, jika memang ada kerugian negara,  itu baru bisa dihitung apabila kontrak sudah berakhir.

Jika kontrak belum selesai dan muncul persoalan, para pihak yang berkontrak menyelesaikannya melalui jalur perdata. “Tidak ada kerugian negara sebelum kontrak antara pemerintah dan Chevron berakhir, karena seandainya ada selisih keuangan masih bisa dikembalikan sesuai kesepakatan para pihak yang berkontrak,” tukas Mudzakkir.

BPKP Tidak Berwenang Mengaudit

Pertimbangan ketiga, kata Mudzakkir, adanya kerugian negara harus didasarkan pada audit investigasi (menyeluruh) lembaga yang berwenang. Satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan audit investigasi terkait kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sementara hitungan kerugian negara yang dimiliki Kejakgung hanyalah hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Bukti itu sangat lemah. “Saya tegaskan, BPKP tidak berwenang mengaudit kerugian negara,” tandasnya.

Pertimbangan keempat, dengan lemahnya bukti yang akan dibawa ke penuntutan, Kejakgung sangat mungkin akan kalah. Namun itu semua tergantung obyektivitas hakim. Lebih dari itu, tuntutan Kejakgung ke pengadilan atas kasus bioremediasi Chevron, akan menjadi preseden internasional yang luar biasa.

Selain Pemerintah Indonesia akan dituding mencederai kontrak, Chevron sebagai perusahaan multinasional tidak akan tinggal diam namanya tercoreng gara-gara kasus tersebut.

Perusahaan migas itu, kata Mudzakkir, bisa membawa kasus pencederaan kontrak tersebut ke Arbitrase Internasional. Jika ini terjadi dengan kondisi bukti-bukti yang dimiliki Kejakgung sangat lemah, pemerintah bisa kalah di Arbitrase Internasional, dan justru bakal menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara.

“Ini akan mengulang kasus Karaha Bodas dimana aset-aset pemerintah disita untuk membayar gugatan di Arbitrase Internasional. Di praperadilan saja Kejaksaan Agung kalah karena bukti-buktinya dianggap lemah, apalagi di arbitrase,” ujarnya.

Maka dari itu, lanjutnya lagi, untuk menghindari kerugian negara yang justru lebih besar, sebaiknya Kejakgung menghentikan penuntutan kasus bioremediasi Chevron ini.

“Kejakgung bisa menyatakan, kasus dihentikan karena berdasarkan penyidikan ternyata bukti tidak cukup. Atau, Kejakgung menyatakan menghentikan kasus itu karena pasca penyidikan ternyata kasus itu murni perdata,” saran Mudzakkir.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)