JAKARTA – Moratorium tambang dinilai terjadi karena tata kelola pertambangan yang belum sempurna. Saat ini dari sekitar 6,3 juta hektar izin tambang, 1,37 hektar berada di hutan konservasi  dan 4,93 hektar berada di hutan Lindung. Padahal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan kedua wilayah tersebut harus bebas dari industri pertambangan.
Ladjiman Damanik, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Mineral Indonesia (Apemindo), mengatakan penerapan moratorium tambang harus menciptakan pengelolaan pertambangan yang benar.

“Moratoriun terjadi karena tata kelola pertambangan kita belum sempurna.  Artinya, perlu pengelolaan yang benar. Harus mencakup tiga aspek, yaitu akademisi, business management, dan government,” kata Ladjiman di Jakarta, baru-baru ini.

Presiden Joko Widodo sebelumnya menyatakan perlunya moratorium izin kebun sawit dan tambang. Hal itu diungkapkan Presiden pada Gerakan Nasional Penyelamatan Satwa dan Tumbuhan Liar di Pulau Karya, Kepulauan Seribu pada 14 April 2016 lalu.

Ido Hutabarat, Ketua Indonesian Mining Association (IMA), mengatakan masalah moratorium tambang masih belum jelas.
“Moratorium seperti apa yang diinginkan pemerintah, belum jelas. Industri pertambangan ini adalah industri jangka panjang dan investasi untuk pengembalian jangka panjang. Industri pertambangan bukan seperti manufaktur yang seperti mesin, bisa distop, lalu kapan-kapan bisa jalan lagi,” ungkap Ido.
Tino Ardyanto, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), menjelaskan masalah moratorium bukanlah sesuatu yang baru.

“Harus punya satu keberpihakan kepada industrinya. Tidak hanya di komunitas pertambangan. Tapi, jangan muncul lalu dilepas, kemudian masing-masing punya pendapat sendiri. Industri tambang ini bukan bisa di hidupkan lalu dimatikan. Kita punya keterkaitan dengan lembaga keuangan,” ungkapnya.(RA)