Mobil murah ala Menteri Perindustrian yang sudah banyak hadir di berbagai pameran otomotif di Ibukota.

Mobil murah ala Menteri Perindustrian yang sudah banyak hadir di berbagai pameran otomotif di Ibukota.

JAKARTA – Setelah ditentang secara terbuka oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, pengadaan mobil murah dan ramah lingkungan oleh Kementerian Perindustrian juga mendapat protes dari wakil rakyat di Senayan. Kebijakan itu dinilai tidak mendukung upaya konversi energi dan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang setiap tahun telah membuat jebol APBN akibat subsidi.

Seperti diungkapkan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rofi’ Munawar, persetujuan pemerintah untuk pengadaan mobil murah dan ramah lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC) lewat Peraturan Pemerintah (PP) nomor 41 tahun 2013, tidak sejalan dengan program pengendalian konsumsi BBM yang selama ini dikampanyekan terutama lewat media televisi.  

Rofi’ mengaku sependapat dengan Gubernur Jakarta, Joko Widodo bahwa “proyek” mobil murah dan ramah lingkungan itu juga tidak mendukung gerakan menggalakkan transportasi publik yang nyaman, guna mengatasi kemacetan utamanya di wilayah Ibukota dan sekitarnya.

 “Pemerintah tetap saja mengeluarkan kebijakan yang tidak integrative. Disatu sisi ingin mengendalikan konsumsi BBM, namun disisi lain mengeluarkan kebijakan LCGC yang berpotensi meningkatkan penggunaan BBM bersubsidi,” kata Rofi’ di Jakarta, Selasa, 24 September 2013.

Wakil rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengaku heran, dengan langkah menteri Perindustrian yang kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.

“Produksi mobil ini diperediksi akan meningkatkan konsumsi BBM dan kemacetan yang terdesentralisasi diluar kota-kota besar,” tutur Rofi’.

Legislator Jatim VII ini melihat bahwa jikapun mobil LCGC tersebut dijanjikan hanya akan menggunakan BBM non subsidi. Namun faktanya, kebijakan mobil murah itu tidak diikuti kebijakan terkait sistem yang dapat mencegah konsumen membeli BBM jenis premium.

“Maka yang terjadi, kebijakan mobil murah ini hanya akan mengakibatkan pembengkakan kuota BBM bersubsidi. Situasi ini menunujukan pemerintah cenderung mendorong tumbuhnya industri otomotif, tanpa memperhatikan penggunaan energi yang lebih efisien serta tetap ramah lingkungan seperti gas maupun listrik,” tandasnya.    

“Pernyataan pemerintah yang menjamin bahwa mobil LCGC ini hanya akan digunakan di luar Jabotabek, disertai aturan memberikan sanksi kepada pengguna yang menggunakan BBM bersubsidi pada realitasnya sangat sulit diimplementasikan. Mengingat selama ini saja dengan jenis kendaraan yang ada, pemerintah secara jelas tidak mampu mengontrol konsumsi BBM bersubsidi,” tambahnya.

Kebijakan Tanpa Pengawasan

Sekedar informasi, lanjutnya, dalam PP No 41/2013 maupun Permenperin No 33/2013 yang menjadi payung hukum LCGC, tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan teknis pengawasan untuk memastikan penggunaan BBM nonsubsidi.

Rofi’ menambahkan, jika memang mobil LCGC ini diorientasikan untuk kalangan yang belum memiliki kendaraan, maka logikanya mereka akan tetap memilih menggunakan BBM bersubsidi disesuaikan dengan beban konsumsinya.

“Pemerintah harus berpikir ulang dalam menerapkan kebijakan ini, karena implikasinya akan sangat luas terhadap sektor energi, transportasi maupun pola konsumsi public,” tegasnya.

Seperti diketahui, Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat memperkirakan produksi mobil murah dan ramah lingkungan (LCGC) pada 2013 akan mencapai 75 ribu unit. Bahkan, saat ini telah ada beberapa Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) yang telah memasarkan jenis varian mobil ini di pasaran.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)