Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Hingga menjelang pembacaan tuntutan untuk terdakwa keenam, Bachtiar Abdul Fatah yang dijadwalkan 30 September 2013 mendatang, banyak pihak menyesalkan mencuatnya kasus dugaan korupsi pada proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Terlebih jika merujuk keterangan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr HM Laicha Marzuki, SH, sangat terang bahwa tidak ada pelanggaran pidana dalam kegiatan pembersihan tanah tercemar limbah minyak tersebut.

Seperti diketahui, tuduhan adanya tindak pidana korupsi (tipikor) dalam kegiatan bioremediasi, salah satunya didasarkan pada anggapan Kejaksaan Agung (Kejagung) bahwa kontraktor bioremediasi PT CPI, yakni PT Sumigita Jaya (SGJ) dan PT Green Planet Indonesia (GPI) tidak mempunyai izin untuk melakukan bioremediasi. Sehingga dianggap ada kongkalikong dalam penetapan dua kontraktor itu.

Sejumlah pejabat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sudah menjelaskan di persidangan bahwa PT SGJ dan PT GPI tidak perlu berizin. Karena keduanya hanyalah kontraktor sipil, pelaksana pengangkutan tanah pada kegiatan bioremediasi. Izin hanya diwajibkan bagi PT CPI selaku pemilik limbah, sekaligus pemilik teknologi bioremediasi, yang pekerjaan teknisnya dilaksanakan PT SGJ dan PT GPI.

Jeratnya nyaris tak menuai hasil akibat keterangan para pejabat KLH, Kejagung tak putus asa. Para penyidik Kejagung tetap menganggap PT CPI bersalah, karena pada periode tertentu tetap mengerjakan proyek bioremediasi, padahal izinnya habis.

Pejabat KLH kembali menerangkan bahwa PT CPI sudah mengajukan perpanjangan izin. Memang terbitnya izin perpanjangan cukup lama, karena ada kendala administrasi. Namun Menteri LH sudah menerbitkan surat yang memerintahkan PT CPI tetap melanjutkan kegiatan bioremediasi, hingga tanah yang tercemar minyak menjadi bersih. Dasarnya adalah perintah Undang-Undang (UU) Lingkungan bahwa kegiatan rehabilitasi lingkungan tidak boleh ditunda, karena dapat membahayakan sekitarnya.

Toh semua keterangan itu tidak dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim. Diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda dari hakim anggota, red) Majelis Hakim tetap memvonis bersalah para terdakwa. Jaksa dan Hakim kompak menyatakan, pelaksanaan kegiatan bioremediasi dimasa perpanjangan izin adalah tidak sah.  

Sudah lima terdakwa yang dijatuhi hukuman penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dalam kasus bioremediasi yang penuh kejanggalan ini. Mereka adalah Direktur PT SGJ Herland bin Ompo, Direktur PT GPI Ricksy Prematuri, serta tiga karyawan PT CPI yaitu Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo. Bachtiar Abdul Fatah adalah terdakwa keenam, yang rencananya bakal menghadapi pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 30 September 2013 pekan depan.         

Pada persidangan 18 September 2013 pekan lalu, penasehat hukum Bachtiar sempat menghadirkan seorang ahli hukum administrasi dan tata negara, yakni Prof Dr HM Laicha Marzuki SH, untuk memberikan keterangan di depan persidangan. Laicha yang saat ini juga menjabat Wakil Ketua MK menyatakan, izin bioremediasi PT CPI tetap berlaku dan sah dalam masa perpanjangan izin ketika pihak pemberi izin (KLH) tidak melakukan teguran dan larangan.

“Jika pihak pemberi izin tidak melakukan teguran dan larangan menandakan bahwa izin tersebut masih sah. Bahwa ketika sebuah institusi menugaskan pengawas dan ada laporan berkala yang diserahkan petugas lapangan maka pekerjaan tersebut tetap sah,” jelas Laicha yang sebelum menjadi Wakil Ketua MK adalah seorang Hakim Agung.

Laicha pun menjelaskan bahwa memang benar tanpa izin berarti melawan hukum. “Tetapi kita harus melihat bahwa ada kalanya sesuatu yang tanpa izin tetap tidak menimbulkan larangan karena ada pengawas dari pemberi izin di lapangan. Maka dari itu kegiatan sah berjalan sambil menunggu perpanjangan,” jelas Laicha Marzuki.

“Dalam sebuah perjanjian yang menentukan adalah si pemberi izin. Perbuatan hukum dalam hukum administrasi harus didukung dengan perizinan. Apabila izin habis, dilakukan perpanjangan. Perpanjangan itu dipandang sebagai kelanjutan hukum dari izin sebelumnya,” tegas Laicha Marzuki.

Keterangan ahli ini semakin menguatkan keterangan dari pejabat KLH dalam persidangan sebelumnya yang menjelaskan bahwa proyek bioremediasi CPI telah memiliki izin yang sah dan justru CPI diminta untuk segera melanjutkan proyek bioremediasi sehingga limbah yang harus dibersihkan bisa segera diselesaikan.

Demi mendengarkan keterangan Wakil Ketua MK dan mantan Hakim Agung yang sangat gamblang ini, akankah JPU tetap berkeras menutut Bachtiar bersalah dalam kasus bioremediasi? Tidak cukupkah kepakaran Laicha Marzuki dipertimbangkan dalam kasus yang sangat mengganggu iklim investasi migas di Indonesia ini?

Semuanya kembali pada nurani dan akal sehat para jaksa, yang dipundaknya dititipkan wewenang untuk menegakkan hukum dan kebenaran. Namun banyak pihak menilai, Bachtiar akan tetap dituntut bersalah, karena Kejagung tak mau kehilangan muka atas kekeliruan yang telah dilakukan terhadap lima terdakwa sebelumnya. Wallahu’alam bis shawab.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)