JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai defisit neraca perdagangan bukan lantaran impor minyak dan gas yang besar, namun lebih karena ekspor nonmigas yang tidak tumbuh signifikan.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan pertumbuhan impor minyak setiap harinya tidak besar. Impor hanya dilakukan sesuai kebutuhan masyarakat yang meningkat dan juga menunjukkan tanda pertumbuhan ekonomi. Apalagi, harga minyak dunia naik, sehingga wajar nilai impor juga meningkat.

“Kalau harga minyak mentahnya naik, harga BBM juga naik. Nah kita impor kira-kira mungkin sekitar 500 ribu barel per hari (bph), baik crude maupun produk, ya pasti nilainya naik,” kata Jonan di Jakarta, Kamis (15/11).

Menurut Jonan, ekspor nonmigas yang seharusnya bisa digenjot, sehingga defisit neraca perdagangan bisa dihindari. Pasalnya, minyak yang diimpor juga dibutuhkan sebagai bahan baku produksi. Hal itu juga terjadi di berbagai negara pengimpor minyak, tapi neraca perdaganganya tetap positif atau surplus.

“Kalau orang bilang ini defisit neraca perdagangan karena defisit neraca migas, pertanyaan saya, Jepang itu punya gas enggak? minyak? Enggak, dia impor minyak dan gas jauh lebih besar dari Indonesia, tapi ekspornya besar. Ekspor produk lainnya besar. Kita kan harusnya begitu,” ungkapnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor dari sektor minyak dan gas yang kembali tinggi sehingga menjadi penyebab terjadinya defisit neraca perdagangan pada Oktober 2018 sebesar US$1,82 miliar.

Defisit migas  sendiri tercatat sebesar US$1,4miliar dan defisit nonmigas US$393 juta. Impor sektor migas dalam periode Oktober tercatat sebesar US$2,90 miliar. Sedangkan ekspor migas hanya mencapai US$1,48 miliar.

Impor sektor migas terdiri atas impor minyak mentah sebesar US$878,4 juta, impor hasil minyak mencapai US$1,71 miliar, dan impor gas sebanyak US$311,2 juta.

Sementara itu, ekspor migas terdiri dari ekspor minyak mentah sebesar US$418,8 juta, ekspor hasil minyak mencapai US$110,6 juta, dan ekspor gas US$952,2 juta.

Nilai impor nonmigas yang mencapai US$14,7 miliar ikut memberikan sumbangan pada defisit neraca perdagangan, karena ekspor nonmigas hanya tercatat US$14,3 miliar.

Secara keseluruhan, BPS mencatat nilai ekspor mencapai US$15,8 miliar dan impor sebesar US$17,6 miliar pada Oktober 2018.

Menurut Jonan, negara – negara tetangga Indonesia juga mengalami kondisi serupa. Impor minyak terus tumbuh, seperti di China yang setiap tahun impor migas terus meningkat. Namun peningkatan itu ditujukan untuk berkegiatan yang menghasilkan produk, sehingga bisa diekspor. Karena minyak itu bahan atau komoditas untuk produksi dalam perspektif lebih luas.

“Impor minyak enggak untuk diminum, tapi sebagai alat produksi. Walaupun digunakan oleh konsumen itu kan sebagai untuk berkegiatan. Kegiatan ini yang harus menghasilkan nilai ekspor yang lain, jadi bukan dipisah-pisah begitu penilaiannya.
Ya menurut saya ekspornya kurang di sektor nonmigas,” tandas Jonan.(RI)