Jaringan pipa gas Pertamina.

MEDAN – Mulai bulan depan PT Pertamina (Persero) akan memulai pembangunan jalur pipa sejauh 375 kilometer dari Arun ke Medan, untuk selanjutnya menambah pasokan gas hingga 10 MMSCFD ke Ibukota Sumatera Utara itu, guna mengatasi krisis yang diprediksi berlangsung mulai Maret 2013.

Seperti diberitakan sebelumnya, Medan dan daerah lain di Sumatera Utara terancam mengalami krisis gas mulai 1 Maret 2013, menyusul akan habisnya pasokan gas dari PT Pertiwi Nusantara Resources ke PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk untuk penyaluran di wilayah Medan dan sekitarnya.

Menjawab hal ini, SVP Upstream strategic Planning & Operation Evaluation Pertamina, Djohardi Angga Kusuma mengukapkan,  mulai Maret 2013 Pertamina akan mulai membangun jalur pipa sejauh 375 kilometer dari Arun ke Medan, untuk mengalirkan gas dari regasifikasi Arun ke Sumatera Utara.

“Bulan Juli  tahun ini, kami juga akan meningkatkan pasokan gas di Medan, dengan menambah volume gas yang disalurkan sebesar 8 sampai 10 MMSCFD (Million Million Standard Cubic Feet per Day/juta kaki kubik),” ujarnya.

“Tambahan pasokan gas itu berasal dari lapangan Benggala Satu,” jelas Djohardi  dalam Diskusi Publik “Mencari Solusi Terhadap Ancaman Krisis Gas Bagi Kalangan Industri di Sumatera Utara” yang diselenggarakan di Medan, Kamis, 21 Februari 2013.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi mengatakan, ancaman krisis terjadi karena pengelolaan gas bumi di Indonesia tidak terintegrasi dan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Oleh karena itu diperlukan sinergi dan koordinasi diantara pengambil kebijakan di hulu, midstream, dan hilir.

Secara ideal, ujarnya, perencanaan pasokan gas menjadi tanggung jawab Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Sedangkan perencanaan infrastruktur, menjadi tugas Ditjen Migas, dan perencanaan arah pasar berada dibawah kendali Kementerian Perindustrian.

“Sesungguhnya kita memiliki sumber daya gas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik, namun tata kelolanya tidak tepat. Bahkan selama ini pembangunan infrastruktur  pipa gas sengaja dihambat untuk melanggengkan ekspor gas,” ungkap Dalimi.

Oleh karena itu, agar  krisis gas bumi seperti yang terjadi di Medan tidak terjadi di wilayah lain, sinergi antara pasokan, infrastruktur dan pasar gas di dalam negeri harus dijalankan secara bersamaan.

Berhenti Ekspor Gas

Sementara ekonom Faisal Basri mengatakan, gas merupakan aset strategis nasional. Oleh karena itu untuk meningkatkan daya saing industri,  gas tidak seharusnya dijadikan sebagai komoditas ekspor, melainkan sebagai energi untuk menggerakkan industri dalam negeri.

“Tahun lalu kita membayar subsidi energi lebih dari Rp 306 triliun. Sementara kontribusi migas untuk APBN hanya Rp 277 triliun. Jadi hasil ekspor migas yang selama ini kita lakukan saja tidak cukup untuk subsidi. Artinya menjadikan gas sebagai komoditas itu sangat keliru,” ujar Faisal.

Menurut Faisal, dalam kasus krisis gas di Medan dampaknya sudah terlihat dari kecenderungan deindustrialisasi di wilayah Sumatera Utara. Dalam beberapa tahun terakhir kontribusi industri terhadap PRDB provinsi itu terus menurun.

Oleh karena itu, ia menyarankan, pemerintah harus serius dalam memberikan jaminan pasokan bagi industri gas di Medan. Dengan bertambahnya pasokan gas, berarti industri akan terus bertumbuh dan membuka lapangan kerja lebih besar.

“Sumatera Utara harus mampu bertransformasi dari pertanian ke industri sebagai indikator sebuah kemajuan. Tapi yang terjadi hari ini industrinya justru mengalami banyak masalah. Bahkan 54 persen tenaga kerjanya bekerja di sektor informal, ini menyedihkan,” tegas Faisal.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)